Rabu, 02 September 2015

Persiapan Pemerintah Desa Dalam Pelaksanaan Undang-Undang Desa dan Mengenal Hak Asasi Warga Desa


Persiapan Pemerintah Desa Dalam Pelaksanaan

Undang-Undang Desa dan Mengenal Hak Asasi Warga Desa[1]

Oleh Abdul Kasim, S.H.[2]
Undang-undang Desa, dan Hak Asasi Warga Desa,SOMASI NTB, ELSAM
Share Learning di Kota Praya Lombok Tengah
1. Pengantar
Pasca perubahan landasan hukum dari PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, posisi Desa merangkak naik menjadi setingkat dengan Pemerintah Daerah. Melihat jauh ke belakang posisi desa sebenarnya pernah sederajat lewat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979. Setalah era reformasi pada tahun 1998, pengakuan posisi desa secara yuridis seakan turun derajat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2005 yang kemudian di atur oleh Peraturan Daerah masing-masing kabupaten/kota. 

Setelah lama dibawah operasional otonomi Daerah dengan landasan hak dan kewajiban otonomi membuat otonomi desa tidur panjang. Tidur panjang otonomi Desa berawal ketika era orde baru menerbitkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 yang menjadikan Desa dan semua perangkatnya berubah menjadi alat birokrasi yang efektif dalam menjalankan semua kebijakan rezim berkuasa yang dimana dengan sendirinya peran dan kedudukan desa mengalami pergeseran dari entitas sosial yang bertumpu pada kehendak basis alami terkecil masyarakat menjadi unit pemerintahan mikro yang bersandar bagi kepentingan pemerintah.

Setelah di terbitkan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 setidaknya ingin menjawab kebutuhan yang diperlukan untuk membangunkan otonomi Desa, yaitu mengembalikan otonomi asli desa sebagaimana mestinya , serta pada saat yang sama mengembangkan otonomi desa untuk membatasi intervensi otonomi daerah pasca reformasi. Jika mempelajari substansi pengaturan soal desa dalam batang tubuh, tampak bahwa rezim desa kali ini dengan jelas menjawab persoalan pertama, yaitu menegaskan kembali keragaman desa sebagaimana lebih awal telah dikoreksi oleh Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 dan terakhir dirubah dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah.

Setelah penerbitan Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2014 tentang petunjuk pelaksanaan UU Desa dan Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2014 tentang mekanisme pengelolaan Dana Desa yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), maka ada pergeseran dalam mekanisme pengelolaan anggaran di desa.

Undang-undang desa menegaskan otonomi desa dalam menentukan prioritas pembangunan dan penggunaan dana sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat desa. Sehingga paradigma pembangunan tidak hanya terpusat pada perkotaan, dan bisa bergeser ke pedesaan. Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia masih tinggal di desa. Hal ini juga sejalan dengan komitmen pemerintah untuk terus menekan angka kemiskinan di Indonesia.

Persoalannya adalah apakah pengaturan soal desa kedepan akan memberi peluang ataukah menjadi ancaman nyata bagi pertumbuhan dan perkembangan otonomi desa? makalah ini akan melihat akar pertumbuhan dan perkembangan otonomi desa di Indonesia serta sejumlah catatan penting bagi peluang tumbuhnya otonomi desa. Uraian ini juga akan menyertakan beberapa catatan kritis terhadap pengaturan desa yang tidak hanya melihat tujuan dari Undang-undang desa tetapi melihat potensi yang dapat menghambat pembangunan desa dikemudian hari.

2. Peluang Pembangunan Desa

Pengaturan posisi Desa melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 harus diakui memberi peluang bagi tumbuhnya otonomi Desa. Sejumlah tekanan dalam beberapa pasal memberi diskresi yang memungkinkan otonomi desa tumbuh dengan melihat beberapa aspek kewenangan seperti tambahan kewenangan Desa selain kewenangan yang didasarkan pada hak asal usul sebagaimana diakui dan dihormati negara. Tampak bahwa asas subsidiaritas yang melandasi undang-undang Desa memberikan keleluasaan dalam penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa. Kewenangan lokal berskala desa adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa yang telah dijalankan oleh desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh desa, atau yang muncul karena perkembangan desa sebagaiamana di disebutkan dalam pasal 76 ayat (1) undang-undang Desa, sebagai berikut :

“Aset desa dapat berupa tanah kas Desa, tanah ulayat, pasar Desa, pasar hewan, tmabatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik Desa, mata air milik Desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik Desa “

Konsekuensi dari kewenangan tersebut memungkinkan desa dapat mengembangkan otonomi yang dimiliki bagi kepentingan masyarakat setempat. Implikasinya desa dapat menggunakan sumber keuangan yang berasal dari negara dan pemerintah daerah untuk mengembangkan semua kewenangan yang telah ada, yang baru muncul, dan sejumlah kewenangan lain yang mungkin merupakan penugasan dari supradesa. Untuk mendukung pelaksanaan sejumlah kewenangan tersebut, desa dan kepala desa memiliki kewenangan yang luas untuk mengembangkan otonomi asli melalui sumber keuangan yang tersedia.

Selain kewenangan berdasarkan hak asal-usul yang telah ada dan kewenangan berskala lokal desa, semua kewenangan tambahan yang ditugaskan oleh pemerintah daerah maupun pusat hanya mungkin dilaksanakan jika disertai oleh pembiayaan yang jelas. Berdsarakan hal tersebut, dalam pasal 72 ayat (1) undang-undang desa mengatur asal-usul sumber keuangan desa secara umum yaitu: 

(i). Pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa; (ii). Alokasi Anggran Pendapatan Belanja Negara; (iii). Bagian dari hasil pajak Daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota; (iv). Alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota; (v). Bantuan keuangan dari Anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi dan anggaran pendapatan belanja daerah kabupaten/kota; (vi). Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga dll.

Dengan sumber keuangan yang relatif cukup dibanding kuantitas urusan yang akan dilaksanakan, desa sebetulnya dapat lebih fokus dalam meningkatkan pelayanan publik serta pembangunan dalam skala Desa. Kenyataan tersebut setidaknya mendorong otonomi yang dimiliki untuk menjadikan semua urusan yang telah diakui dan dihormati negara, ditambah urusan skala lokal bukan sekedar pajangan, tetapi akumulasi dari seluruh aset yang memungkinkan desa bertambah kaya dengan modal yang dimilikinya. Dengan modal tersebut desa akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menekan tingginya kemiskinan dan meningkatkan daya saing Desa sehingga tidak jauh tertinggal dengan kota. 

Kabar baik atas pengakuan negara terhadap desa dapat dilihat dari pengakuan atas realitas keberagaman desa di berbagai daerah (asas rekognisi). Sedangkan konkritisasi dari penghormatan negara terhadap desa adalah terbukanya kran alokasi negara secara langsung yang akan dikelola desa (asas subsidiaritas). 

Dalam peroses pembangunan, desa membutuhkan partisipasi aktif dari unsur dalam masyarakat Desa. Sehingga pembangunan desa diharapkan dapat ditopang lewat aset desa, termasuk sumber keuangan desa dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) degnga mengembangkan produk lokal. Lebih dari itu peluang pengembangan otonomi memungkinkan desa dapat meluaskan pembangunan melalui strategi kerjasama dengan desa lain yang saling menguntungkan.

3. Potensi Penghambat Pembangunan Desa

Secara organisasi dalam Perturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005, berbeda dengan struktur organisasi dalam undang-undang Desa yaitu pemerintahan desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa semata tanpa posisi BPD. Besarnya kewenangan kepala desa memberi peluang bagi upaya mendorong tumbuh dan berkembangnya otonomi Desa, namun disisi lain bukan mustahil menjadi ancaman bagi perkembangan Desa dalam perjalanan kedepan. mengacu dalam undang-undang Desa, posis Badan Permusyawaratan Desa berada diluar batasan pengertian pemerintahan desa, sehingga praktis BPD tak memiliki fungsi pengawasan terhadap akuntabilitas kepala Desa. Sebab pertanggungjawaban akhir tahun anggaran dan akhir masa jabatan kepala Desa disampaikan kepada kepala daerah Kabupaten/Kota. Tugas BPD selain berfungsi sebagai lembaga pemerintahan hanya melakukan pembahasan dan menerima laporan dari masyarakat, dan menerima keterangan laporan atas laporan dari kepala Desa ke Kabupaten/Kota. Kondisi demikian membuat tidak ada chek and balance system sehingga pemerintah desa berpeluang absen dari masyarakat dalam hal ini diwakili oleh Badan permusyratan Desa.

Luasnya kewenangan pemerintah Desa tanpa pengawasan kuat BPD pada akhirnya akan membuka peluang korupsi di Desa disebabkan sumber daya aparatur yang minim, apalagi jika pemerintah lalai dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana amanat undang-undang Desa. Peluang korupsi tidak saja terbuka lebar secara internal pemerintah desa, potensi terjadinya korupsi secara sistemik dimungkinkan karena peluang seorang kepala desa dapat bertahan selama 6 kali 3 periode sehingga dengan mudah dapat melanggengkan kekuasaan lewat penggunaan sumber keuangan dan kewenangan yang luas.

Semakin rendah pendidikan masyarakat semakin rendah pula daya kritis mereka terhadap pemerintah desa. Keadaan demikian akan memudahkan pemerintah desa melakukan berbagai modus yang menguntungkan diri dan keluarga dekatnya. Kecenderungan demikian semakin sering terjadi pada sebagian besar desa yang tak cukup memiliki integritas moral dan derajat pendidikan yang memadai. Dalam banyak kasus pemerintah Desa seringkali berkonsfirasi dengan pemerintah daerah untuk saling menutupi berbagai kelemahan pertanggungjawaban, sekaligus merawat hubungan patron clien dengan sejumlah pejabat yang bertanggungjawab dalam distribusi alokasi dana desa. Secara historis bakat feodalisme pemerintah desa adalah produk kolonial yang cenderung lebih berorientasi pada kepentingan atasan dan bawahan dari pada kepentingan masyarakat. Kondisi demikian seringkali menjebak pemerintah desa lupa diri sehingga terciptanya oligarkhi, nepotisme, bahkan otoritarianisme pemerintahan desa. 

Disisi lain, bersamaan dengan menguatnya kewenangan desa dan meningkatnya sumber-sumber keuangan Desa akan menginjeksi petinggi Desa akan melakukan pertimbangan pragmatis atas datangnya subsidi desa maka keinginan memekarkan desa kemungkinan dapat menjadi trend dimasa mendatang. Realitas semacam ini cenderung melahirkan konflik horizontal dan vertikal di tingkat Desa akibat lambatnya pembentukan Desa serta sejumlah ketidakpuasan akibat kompetisi yang ketat dalam pemilihan kepala Desa. Mengingat masa transisi dari status Desa persiapan ke Desa defenitif yang hanya membutuhkan usia 1-3 tahun, tentu saja bukan halangan berarti dalam memperbanyak Desa baru atas nama kehendak masyarakat setempat.

4. Hak Asasi Masyarakat Desa
Mengenai hak asasi masyrakat desa, kita berkiblat utama pada konstitusi yaitu mengacu kepada ketentuan UUD 1945, Seperti diketahui, sejak Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000, UUD 1945 memuat ketentuan yang sangat lengkap tentang jaminan-jaminan hak asasi manusia. Jaminan konstitusional hak-hak warga negara dan hak asasi manusia itu dirumuskan dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J UUD 1945. Di samping itu, pada tahun 1999, Indonesia juga telah mengesahkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia17, dan pada tahun 1998, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu, pada tahun 2000 juga telah disahkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak AsasiManusia. Pada tahun 2005, terbit pula Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 yang masing-masing meratifikasi International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1966. Dalam konstitusi Republik Indonesia telah mengatur Hak Asasi Manusia begitu lengkap sebagai mana diatura dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J UUD 1945, menentukan hal-hal sebagai berikut: 
  1. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya;
  2. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;
  3. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
  4. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia; 
  5. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya;
  6. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
  7. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
  8. Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan; 
  9. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;
  10. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali;
  11. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya;
  12. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat; 
  13. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia;
  14. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi; 
  15. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain; 
  16. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan; 
  17. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan; 
  18. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat; 
  19. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa pun; 
  20. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun; 
  21. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu; 
  22. dentitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban; 
  23. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah; 
  24. Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan; 
  25. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 
  26. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Keseluruhan norma Pasal 28A sampai dengan Pasal28J UUD 1945 ditambah dan dilengkapi oleh segala undang-undang tentang hak asasi manusia beserta instrumen hak asasi manusia yang telah diratifikasi dengan undang-undang Republik Indonesia.

dalam menjalankan fungsi-fungsi kekuasaannya, juga haruslah dijadikan pegangan normatif bagi masyarakat Desa dalam hubungan antar sesama warga negara, warga masyarakat madani, dan dalam hubungan antara masyarakat madani dengan institusi negara dan korporasi. Dengan perkataan lain, pasal-pasal hak asasi manusia dalam UUD 1945 itu haruslah dijadikan pegangan sebagai suatu Konstitusi Sosial yang tersendiri. Melalui Hak Aasasi Manusia, kita dorong dan kawal pelaksanaan undang-undang Desa untuk mecapai tujuan yaitu membangun Desa untuk mensejahterakan masyarakat Desa, sehingga hal-hal yang akan merugikan masyrakat dalam peroses pembangunan Desa melalui Undang-Undang Desa dapat teratasi, sehingga kita tidak melihat deretan korban korupsi yang akan terus bertambah. Pada gilirannya, menggunakan instrumen HAM akan dapat mendorong partisipasi masyarakat untuk mengawal segala kebijakan pembangunan Desa. Karena melalui perspektif HAM dapat ditunjukkan dengan nyata bagaimana masyarakat menjadi korban dalam kasus penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kasus Korupsi maupun dalam pelayan publik yang tidak baik dalam pelaksanaan undang-undang Desa.

5. Hal yang perlu dipertimbangkan


Dengan melihat prinsip kewenangan yang luas ditambah sifat monopolistik tanpa akuntabilitas, maka pemerintah desa bukan mustahil dapat terjebak pada masalah kejahatan korupsi dan diluar dari konflik politik secara horizontal diantara masyarakat dilingkungan desa. Perlu dipertimbangkan untuk mengobati kemungkinan hal yang akan memperlambat pertumbuhan desa diantaranya :

  1. Aturan teknis harus mampu memperjelas hubungan kewenangan antara pemerintah desa dengan BPD, kecamatan, dan pemerintah daerah. Menihilkan pengaturan soal hubungan kewenangan di antara entitas tersebut dapat mendorong konflik latent dalam jangka panjang.
  2. Aturan teknis harus mampu menciptakan syarat yang ketat dalam pembentukan Desa, termasuk upaya mengkonversi kelurahan menjadi Desa untuk mencegah nafsu menggandakan Desa sebanyak mungkin bagi kepentingan jangka pendek. Aturan teknis harus dapat memperjelas masa depan desa persiapan yang setelah melewati 1-3 tahun dinyatakan tidak layak menjadi desa defenitif. Apakah harus dikembalikan ke masyarakat atau dapat diajukan kembali dalam waktu tertentu.
  3. Aturan teknis harus dapat menjawab masa jabatan kepala desa secara berturut-turut atau tidak berturut-turut. Demikian pula yang pernah menjabat sebagai kepala desa di desa lain selama tiga periode apakah dapat mencalonkan lagi di desa lain.
  4. Aturan teknis harus memberi batasan tentang kewenangan desa dalam kaitan dengan pengaturan kawasan khusus/strategis sehingga tak kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah daerah.
  5. Selain aturan teknis harus menjawab amanah undang-undang desa dalam bentuk peraturan pemerintah, juga diperlukan inventarisasi masalah yang telah terjadi atau mungkin akan terjadi dalam bentuk simulasi untuk mengantisipasi ketegangan yang akan muncul dikemudian hari.
  6. Dalam kesadaran semacam itu diperlukan pendidikan dan pelatihan yang memadai secara terus-menerus kepada pemerintah desa, BPD dan stakeholders terkait guna menyambut semua kejutan yang akan tiba di desa. Akhirnya, suka atau tidak, ketika desa memiliki kewenangan yang luas, sumber keuangan yang menjanjikan, masa jabatan yang relatif lama, minimnya kontrol dari masyarakat.
  7. Aturan teknis harus membatasi pengelolaan aset Desa, Tanah Ulayat, mengingat banyaknya kasus penggelapan tanah ulayat yang dilakukan oleh kepala desa di beberapa Daerah, dengan melihat kwenangan untuk melakukan sertifikat tanah Ulayat dan Aset lainnya, tidak menutup kemungkinan disalahgunakan oleh kepala Desa.
Daftar Pustaka

Undang-Undang :
  1. Undang-undang Dasar 1945
  2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979
  3. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
  5. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
  6. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 sebagaimana diribuh dengan perubahan terakhir Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
  7. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Peraturan Pemerintah :
  1. Perturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Perturan Pelaksana Undang-Undang Desa
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

[1] Makalah disamapaiakn pada diskusi Share Learning SOMASI NTB Tahun 2015. Lombok Tengah. 
[2] Divisi Bidang Ekonomi dan Politik Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (SOMASI), Nusa Tenggara Barat. 
[3] Untuk mengakses Soft File makalah silahkan email ke: abdulkasim213@gmail.com 

Minggu, 05 Juli 2015

PENGHAPUSAN DANA ASPIRASI untuk MEMAKSIMALKAN FUNGSI DPR




AbdulKasimPenghapusan Dana AspirasiDPR,HakAsasiManusia

PENGHAPUSAN DANA ASPIRASI untuk MEMAKSIMALKAN FUNGSI DPR

Oleh: Abdul Kasim, S.H.


Dana aspirasi yang di kalim oleh DPR sebagai wujud nyata untuk memenuhi aspirasi rakyat daerah yang mereka wakilkan di gedung aspirasi rakyat yang berlokasi di senayan. Dengan melihat alasan tersebut perlu di lihat marwah utama dari fungsi DPR di era reformasi saat ini, yang berkaitan dengan fungsi perwakilan yaitu untuk memeperjuangkan aspirasi  dan kepentingan seluruh  rakyat indonesia yang berdaulat dengan cara duduk di lembaga perwakilan rakyat, dan fungsi permusywaratan bersama untuk mengambil kebijakan yang menyangkut kepentingan dan tujuan dalam bermasyarat. Sesungguhnya kedua fungsi pokok tersebut di uraiakan dalam tiga kegiatan yang dikenal saat ini, yang lazimnya dikenal dengan nama fungsi parlement yaitu fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran.

Fungsi legislasi eratkaitanya dengan pengertian pembuatan undang-undang. Lebih jelasnya fugnsi legislasi ini identik dengan kegiatan pembentukan kebijakan publik yang disepakatai secara bersama-sama oleh para wakil rakyat dengan atasa nama seluruh rakyat Indonesia seantero Nusantara. Untuk membuata kebijakan itu bersifat mengikat maka dituangakn dalam bentuk undang-undang. Oleh akrena itu fungsi legislatif disebut sebagai fungsi pembuat undang-undang. Untuk melaksanakan undang-undang tersebut perlu langkah lanjutan yaitu peraturan pelaksana dari eksktuif yaitu berupa peraturan pemerintah, maupun peraturan lembaga pelaksana lainnya,  sedangakan untuk langkah selanjutnya selain peraturan pelaksana yaitu kegitan perogram aksi yang terwujud dalam bentuk dukungan anggaran dalam APBN dan APBD.

Fungsi pengawasan adalah fungsi mengawasi. Fugnsi pengawasan parlemen ini berkaitan dengan fungsi pengawasan terhadap sejauhmana kebijakan yang secara mengikat itu dijabarkan sebagaimana mestinya dalam peraturan pelaksana, fungsi pengawasan selanjutnya terkait dengan sejauhmana kebijakan itu terlihat dalam bentuk kegiatan yang didukung anggaran APBN maupun APBD, dan fungsi pengawan terkahir yaitu bagaiamana kualitas pelaksanaan kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBN dan APBD dalam implementasi nyata.

Terkait dengan Fungsi anggaran DPR lebih erat dengan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi menetepakan kebijakan yang harus dijadikan pegangan dalam menyusun kegaitan dan anggaran. Sedangkan fungsi pengawasan bertindak sebagai manager kontrol terhadap kualitas pelaksanaan APBN dan APBD  dalam implementasi secara nyata dilapangan. Secara abstrac pengawasan terhadap pelaksanaan APBN dan APBD di lapangan memang bukan merupakan fungsi anggaran, melainkan intisari dari fungsi pengawasan.

Dari uraian diatas yang terkait dengan fungsi anggara DPR lebih tepat kepada kepada pengawasan pelaksanaan kebijakan dalam bentuk program-perogram pemerintah dan pembangunan utntuk mencapai tujuan bernegara dalam konstitusi. Berdasarkan hal tersebut fungsi anggaran DPR haruslah kearah penjabaran kebijakan-kebijakan yang berorentasi ke arah perogram-perogram pemerintah dan pembangunan sebagaimana impian para founding father sebagai aspirasi keinginan rakyat indonesia.
Aspirasi rakyat yang diemban oleh DPR, seharunya menjadi semangat kekuatan lembaga legislatif untuk mampu membangun sistem pemerintahan yang kuat dan demokratis sehingga mampu melahirkan berbagai kebijakan strategis untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu DPR haruslah identik dengan penjabaran kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam bentuk regulasi yang berlaku untuk penyusunan perogram-perogram pemerintah dan pembangunan  yang dirumuskan dengan mengacu kepada kebutuhan empiris yang ditemukan dari lapangan, yang selanjutnya dirumuskan menjadi perogram-perogram kerja yang di nyatakan dalam bentuk hukum yang berlaku mengikat untuk umum yang berlandaskan konstitusi.    

Sehingga  setiap perogram nasional maupu perogram pembangunan daerah yang dituangkan dalam bentuk Undang-undang tentang APBN untuk perogram nasional dan Peratur Daerah tentang APBD untuk perogram pemerintah daerah. Sehingga uraian dalam APBN dan APBD harus dimulai dengan menguraiakan meteri kebijakan yang berlaku dalam bentuk perogram-perogram kerja operasional di bidang pemerintah dan pembangunan yang berdasarkan analisis terhadap kebutuhan yang direkomendasikan dari pengalaman empiris di lapangan, sehingga semua perogram-perogram pemerintah dan pembanguan sesuai dengan logika dan kebutuhan rakyat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan fungsi anggaran DPR tidak melulu harus identik dengan persoalan angka-angka anggaran pendapatan belanja negara atau anggaran pendapatan belanja daerah yang harus didistribusikan dalam bentuk angka-angka yang bisa jadi hanya menguntungkan sekelompok orang yang mengatasnamakan kebutuhan rakyat.   
Oleh karena itu penting dibangun perinsip saling mendukung antara ekskutif dan legislatif, sehingga tidak ada perdebatan terkait  dengan klaim program pembangunan yang  bawa oleh pemerintah melalui perogram-perogram pemerintah dan pembangunan yang di bawa oleh legistaif melalui dana aspirasi. Sudah saatnya DPR berkerja sesuai dengan marwahnya yaitu memperjuangkan aspirasi rakyat untuk mendorong eksktuif membuat perogram-perogram dan agagasan perogram yang bersifat pro-rakyat.

Sehingga tidak terdengar lagi adanya perogram pemerintah yang tidak tersentuh sama sekali  maupun adanya perdebatan atau lobi-lobi yang hanya berkaitan dengan distribusi dan alokasi angka-angka. Sehingga dengan demikian perhatian anggota DPR tidak hanya tersita terhadap hal-hal yang berbau angka dan hal-hal yang bersifat transaksional tanpa adanya perdebatan substantif untuk kepentingan yang lebih luas. Ketika anggota DPR bekerja dengan benar-benar untuk menyampaikan aspirasi rakyat dengan keyakinan bahwa suara rakyat adalah suara tuhan yang harus dilaksanakan di negeri tercinta Indonesia, sehingga tidak ada lagi wakil rakyat yang mengganti sila pertama menjadi keuangan yang maha kuasa. Dengan demikian tegaklah kesadaran politik rakyat Indonesia yang penuh percaya meletekan aspirasi ke pungung para anggota DPR yang menjadi wakil rakyat untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat indonesia dari sabang sampai meruake secara benar.


Minggu, 21 Juni 2015

Pengaturan Hak Asasi Manusia dan Kejahatan Korupsi di Indonesia




Oleh : Abdul Kasim

1.         Pengantar
Reformasi tahun 1998, menjadikan Indonesia memasuki era baru ke Arah Negara yang demokrasi dan menghargai hak-hak asasi manusia. Perlindugan, Penghormatan, Pemenuhan dan Pemajuan hak-hak asasi manusia adalah ciri penting suatu negara hukum yang demokratis. Tetapi seiring dengan Penegakan Hak Asasi Manusia  yang diatur dengan semakin baik tidak membuat Perlindungan, Pemenuhan, Penghormatan dan Pemajuan HAM semakin lebih baik. Salah satu isu yang sedang dikembangkan saat ini adalah Korupsi merupakan kegiatan pelanggaran hak asasi manusai secara tidak langsung terhadap Individu dari masyarakt, tetapi lebih menyerang kepada tatanan sosial yang membuat ketidak seimbangan dalam Pemenuhan, Penghormatan, hak asasi manusia yang dilakuakn oleh para koruptor. Sehingga perlu dipertimbangkan Pemberantasan korupsi di Indonesia  harus dijadikan agenda penegakan hak asasi manusia. Hal ini sangat penting karena anggaran uang negara yang dirampok, merupakan uang untuk pemenuhan hak-hak rakyat baik secara individu maupun bersama-sama. Kerangka penghukuman koruptor dengan perspektif pelanggaran HAM akan memberat hukuman dan menjadikannya sebagai hostis humanis genaris (musuh bagi semua umat manusia) yang perlu kita lawan secara bersama-sama.

2.        Mengenal Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak paling dasar dari manusia. Hak-hak tersebut menjelaskan hubungan antara individu dan struktur kekuasaan, khususnya dengan negara. Hak Asasi Manusia membatasi kekuasaan negara, dan pada saat yang sama, memberikan peran kepada negara untuk melakukan tindakan-tindakan yang positif untuk memastikan adanya kondisi bahwa semua orang dapat menikmati hak-haknya.[3]
Dalam peroses HAM mengalami perkembangan melalui tiga tahapan generasi :
Ø  Generasi Pertama, perkembangan hak-hak sipil dan politik (hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan peribadi, persamaan hak di depan hukum, hak atas nama baik, hak untuk bebas dari pembatasan bergerak dan berdomisili, hak untuk bebas berpikir, berkeyakinan, dan beragama, kebebasan berbicara, hak atas informasi, hak untuk memilih dan dipilih, hak untuk referendum, dan sebagainya)
Ø  Generasi Kedua, perkembangan hak-hak sosila, termasuk hak-hak ekonomi dan budaya (hak untuk bekerja dan mendapatkan upah yang layak, hak utnuk mendapatkan kepastian hukum tentang jam kerja, hak libur, hak melakukan mogok kerja, hak mendapatkan pendidikan, hak untuk melakukan penelitian ilmiah dan melakukan penemuan, dan sebagainya)
Ø  Generasi ketiga, perkembangan hak-hak solidaritas/kolektif (seperti : hak untuk melakukan kerjasama dengan berbagai pihak dan mengembangkan dimensi kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari. Contoh yang spesifik dapat ditemukan dalam kerangka bangsa, nasional, etnik, agama, dan budaya minoritas, dala hubungannya dengan hak pembangaunan, hak atas perdamaian, hak untuk berbeda bahasa, warna dan berbeda kebudayaan, dan sebagiannya)[4]

Dalam fase perkembangan dari tiga generasi di atas mengukuhkan bagaimana pengakuan dan jaminan Hak Asasi Manusia memunculkan konsep tentang hak-hak yang tidak dapat dicabut/dikurangi dalam pemenuhan dalam keadaan apapun (non derogable right) dan hak-hak yang tidak dapat dibatasi atau dikurangi peenuhanya (derogable deright).
Hak-hak dalam jenis non derogable merupakan hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya, walaupun dalam keadaaan darurat sekalipun, berikut jenis hak-hak yang termasuk dalam non derogable :
                                 i.          Hak atas hidup;
                                ii.          Hak bebas dari penyiksaan;
                              iii.          Hak bebas dari perbudakan;
                              iv.          Hak bebas dari penahan karena gagal memnuhi perjanjian;
                                v.          Hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut;
                              vi.          Hak sebagai subyek hukum, dan;
                             vii.          Hak atas kebebasan berfikir, keyakinan dan agama. (Pasal 4 ayat (2) Kovenan Hak Sipil dan Politik).
Hak asasi manusia diakui dan dijamin dalam berbagai instrumen HAM Internasional, regional maupun nasional sebagai berikut .
a.      Instrumen HAM internasioanl tersebut diantaranya :
1)      Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Declaration on Human Right (UDHR)
2)     Konvenan Internasional Hak-hak sipil dan plitik (KIHSP) atau the Internasional Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR);
3)     Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) atau the International Convenant on Ekonomic, Sosial and Culture Rights (IESCR), dan lainnya terkait dengan HAM yang disusun oleh PBB atau Badan-badan internasional lainnya.
b.     Instrumen HAM di tingkat regional diantaranya :
1)      Konvensi Erofa tentnag HAM dan Kebebasan Dasar atau European Convention on Human Rights;
2)     Konvensi Amerika tentang atau American Convention of Human Rights;
3)     Piagam Afrika tentang HAM dan Hak Penduduk atau African Charter on Human and Peoples Rights;
4)     Deklarasi HAM Asean atau Asean Human Rights Declaration,
Perkembangan tentnang jaminan dan perlindungan HAM juga dibentuk melalui berbagai keputusan pengadilan HAM di tingkat regional, misalnya Pengadilan HAM Negara-Negara Inter-Amerika (the Inter-Amerika Court of Human Rights) dan Pengadilan HAM Erofa (the European Court of Human Right).
c.      Instrumen HAM di tingkat Nasional, Indonesia telah menajmin berbagai Hak Asasi Manusia yang tertuang dalam Konstitusi maupun Peratuaran perundang-undangan, berikut instrumen HAM di tingkat Nasional :
1)      Tap MPR Nomor XVIII tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia.
2)     Undang-Undang Dasar 1945 memeuat secara khsusus tentang HAM yaitu dalam BAB XA.
3)     Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan memuat tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM).
4)     Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005 tentang pengesahan  Konvenan Internasional Ekonomi, Sosial dan Budaya dll.
Dalam instrumen Nasional pengertian disejalskan bahwa, Hak Asasi Manusia  adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[5]
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak medapatkan, atau dikhawtirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.[6]

3.        Perinsip-Perinsip Hak Asasi Manusia
Dalam hak asasi manusia terkandung berbagai perinsip, yaitu i). Universal dan tidak dapat dicabut, ii). Tidak dapat dibagi-bagi; iii). saling terkait dan saling tergantung;  iv). Persamaan dan non diskriminasi, v). partisipasi dan keikutsertaan, dan vi). Akuntabilitas dan rule of the law. Berikut penjelasan masing-masing perinsif dalam Hak Asasi Manusia.
i.         Perinsip Universal dan tidak dapat dicabut, mengandung maksud bahwa hak-hak tersebut didasarkan pada martabat setiap individu manusia, terlepas dari ras, warna kulit, jenis kelamin, asal usul, etinitas dan sosila, agama, bahasa, nasionalitas, usia atau pembeda lainnya. Semenjak sifat universal ini diterima oleh semua negara, maka dalam penerapannya harus berlaku secara sama dan tanpa diskriminasi kepada semua orang dan di segala temat. Hak asasi manusia tidak dapat dicabut berarti bahwa hak-hak seseorang tidak dapat dilepaskan atau diambil, kecauli atas situasi yang terjadi berdasarkan hukum.
ii.       Perinsip  tidak dapat dibagi-bagi. Hak Asasi Manusia melekat pada martabat semua manusia terlepas apakah hak-hak tersebut terkait dengan masalah-masalah sipil, budaya, ekonomi, politik atau sosila. Konsekuensinya , semua hak asasi manusia mempunyai setatus yang sama, dan tidak dapat ditempatkan dalam posisi berdasarkan derajat atau hirarki. Pengabaian atas suatu hak akan mengabaiakan hak-hak yang lain.
iii.     Perinsip saling tergantung dan terkait. masing-masing hak berkontribusi atas pelaksanaan martabat seseorang melalui pemuasan kebutuhan-kebutuhan atas perkembangan, fisik, psikologi, atau spritual. Pemenuhan atas suatu hak sering tergantung , keseluruhan atau sebagian, pada pemenuhan hak-hak lainnya.
iv.      Perinsip persamaan dan non diskriminasi. Mengandung arti bahwa semua orang adalah sama sebagai manusia serta mempunyai martabat yang sama. Pelaksanaan hak asasi manusia dilaksanakan tanpa adanya diskriminasi atas dasar apapun, termasuk jenis kelamin, ras, warna kulit,bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, kebangsaan, asal-usul etinitas maupun sosial, minoritas, kekayaan, kelahiran, usia, disabilitas, orientasi seksual, atau berdasarkan status lainnya.
v.        Perinsip partisipasi dan keikutsertaan. Artinya bahwa semua orang mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam mengakses informasi atas peroses pembuatan kebijakan yang akan mempengaruhi kehidupan dan kesejahteraan mereka
vi.      Perinsip akuntabilitas dan rule of law. berarti bahwa negara dan pemegang kewajiban lainnya dapat diawasi dan mampu mempertanggungjawabkan atas semua tindakannya terkait dengan hak asasi manusia. Dalam hal ini mereka harus menyesuaikan dengan norma-norma hukum dan standar yang ditetapkan dalam instrumen hak asasi manusia Internasional. Jiak gagal melakukan hal tersebut, pihak yang terlanggar hak asasinya berhak untuk mengupayakan peroses pemulihan yang layak berdasarkan pengadilan yang kompeten atau mekanisme lannya yang sesuai dengan hukum dan mekanisme yang ada. Setiap orang, media, masyrakat sipil dan masyrakat internasional mempunyai peranan penting dalam memastikan akuntabilitas pemerintahan terhadap kewajiban mereka untuk meneggakkan Hak asasi manusia.
Dari uraian perinsip dalam hak asasi manusai diatas perlu diperhatikan terkait dengan perinsip persamaan dan non diskriminasi, yaitu harus dipahami secara terbuka bahwa tidak setiap pembedaan merupakan tindakan yang bersifat diskriminatif. Pembedaan baik berdsarkan hukum atau dalam kenyataanya yang didasarkan hukum atau dalam kenyataanya yang didasarkan pada kriteria yang masuk akal dan obyektif diperbolehkan, pembedaan tersebut harus dibuktikan untuk emnujukan bahwa perlakuan tersebut memang benar dan masuk akal dan obyektif. Beberapa kelompok atau individu dapat menikmati hak-hak khusus, sebagaimana dinyatakan dalam berbagai instrumen hak asasi manusia, yang ditunjukan untuk melindungi hak-hak individu dan kelompok dengan kebutuhan khusus tersebut. Perlakuan khusus atau pembedaan perlakuan tersebut haruslah dilakuakn dalam jangka waktu yang terbatas, sesuai dengan kebutuhan utnuk mencapai persamaan dalam hal perlakukan khusus sudah mencapai tujuan yaitu kesetaraan, maka tindakan pemebedaan tersebut harus dicabut, tindakan ini dikenal dengan tindakan affirmatif ( affirmative action).
Konstitusi dan peraturan perundang-undangan di indonesia, menjamin berbagai perinsip tersebut perinsip universalitas hak asasi manuisa diakui, karena Indoneisa telah menerima dan menjadi negara pihak dalam berbagai perjanjian hak asasi manusia. Dalam peraturan perundang-undangan di indoneisa jelas menyatakan larangan untuk melakukan diskriminasi dalam segala bentuknya. Dai dalam konstitusi Indoneisa mengakui adanya tindakan affirmative actions, yang menjamin bahwa hak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.[7]
Berikut peraturan yang mengatur jaminan hak untuk bebas dari tindakan diskriminasi dalam hukum positif Indonesia.
·        Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalalm hukum dan pemerintahan dan wajib menjujung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya ( Pasal 27 ayat 2 UUD 1945)
·        Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D ayat 2 UUD 1945)
·        Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskrimatif itu (Pasal 28I ayat 2 UUD 1945)
·        Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama didepan hukum.(pasal 3 ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999)
·        Setiap orang diakui sebagai manusia peribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaanya di depan hukum. (Pasal 5 ayat 1 UU no 39 Tahun 1999)

Setelah panjang lebar membahas non diskrimanasi, perlu kita ketahua bahwa diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang yang mengakibatkan pengurangan, penyimpangan penggunaan hak asasi manusia. Dalam Pasal 1 angka 2 undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia di jelaskan bahwa Diskriminasi adalah pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada sejumlah dasar pembedaan yang mengakibatkan pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lannya.
4.        Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Negara
Setiap negara setidaknya mempunyai 3 (tiga) kewajiban terkait dengan hak asasi manusia, yaitu ; kewajiban untuk menghormati (to resfect), melindungi (to protect) dan memnuhi (to fulfil). Keseimbangan antara ketiga kewajiban atau tanggung jawab tersebut beragam sesuai dengan hak-hak yang dijamin, dan diterapkan terhadap semua hak-hak, serta mencangkup hak-hak sipil dan politik, dan semua hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Negara juga berkewajiban untuk menyediakan pemulihan (remedy) atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi.
Dalam hal negara menjadi pihak dalam perjanjian Internasional tentang Hak Asasi Manusia, maka negara harus mematuhi kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian tersebut. Misalnya dalam Konvenan Hak Sipil Politik, terdapat kewajiban bagi negara untuk meyesuaikan instrument hukum nasionalnya dengan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk membentuk, mengubah, atau mencabut regulasi atau kebijakan lainnya sesuai dengan ketentuan dalam konvenan[8].
Selain itu negara berkewajiban menjamin bahwa orang-orang yang terlanggar haknya untuk mendapat pemulihannya yang efektif, baik melalui lembaga peradilan, legislatif , upaya adminstrasi, maupun upaya lainnya. Setiap orang yang menyatakan hak-haknya telah terlanggar harus mampu untuk mendapatkan pemulihan yang efektif berdasarakan mekanisme nasional yang disediakan. Kewajiban negara ini diantaranya :
a.      Membawa para pelaku  pelanggaran ke pengadilan;
b.     Termasuk pejabat publik yang melakukan pelanggaran;
c.      Memberikan ganti kerugian kepada korban; dan
d.     Mencegah timbulnya kembali pelanggaran.

Ketentuan tentang Kewajiban Negara terhadap HAM dalam instrumen HAM Internasional dan Regional
Ø  Setiap Negara Pihak pada Konvenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui delam konvenan ini bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun seperti waran kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau setatus sosial. ( Pasal 2 ayat 1 Konvena Hak Sipil dan Politik.
Ø  Apabila belum diatur dalam ketentuan perundang-undangan atau kebijakan lainnya yang ada, setiap negara pihak dalam konvenan ini berjanji untuk mengambil langkah-langakh yang diperlukan, sesuai dengan peroses konstitusinya dan dengan ketentuan-ketentuan dalam konvenan ini, untuk menetapkan ketentuan perundang-undangan atau kebijakan lain yang diperlukan untuk memberlakukan hak-hak yang diakui dalam konvenan ini. (Pasal 2 ayat 2 Konvenan Hak Sipil dan Politik).
Ø  Setiap negara pihak  dalam konvenan ini berjanji : (Pasal 2 ayat 3 Konvenan Hak-hak Sipil dan Politik)
a)     Menjamin bahwa setiap orang yang hak-hak atau kebebasannya diakui dalam konvenan ini dilanggar, akan memperoleh upaya pemulihan yang efektif, walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi;
b)     Menjamin, bahwa setiap orang yang menuntut upaya pemulihan tersebut harus ditentukan hak-haknya itu oleh lembaga peradilan, adminstratif, atau legislatif yang berwenang, atau oleh lembaga berwenang lainnya yang diatur oleh sistem hukum negara tersebtu, dan untuk mengembangkan segala kemungkinan upaya penyelesaian peradilan;
c)     Menjamin, bahwa lembaga yang berwenang tersebut akan melaksanakan penyelesaian demikian apabila dikabulkan. (Pasal 2 ICCPR)

Ø  Negara pihak harus menjamin setiap orang dalam wilayah hukumnya masing-masing semua hak dan kebebasan yang disebutkan dalam bagain I dari Konvensi ini. (Pasal 1 Konvensi Erofa tentang HAM dan Kebebasan Dasar
Ø  Negara pihak Konvensi ini berjanji untuk menghormati semua hak dan kebebasan yang diakui di dalamnya dan menjamin semua orang yang berada dalam yuridiksi mereka akan pelaksanaan yang bebas dan sepenuhnya dari semua hak dan kebebasan tersebut, tanpa diskriminasi apapun karena alasan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik, atau pendapat yang lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, status, ekonomi, kelahiran, atau keadilan sosial lainnya. (Pasal 1 Ayat 1 Konvensi Amerika tentang HAM).
Ø  Para Negara anggota organisasi persatuan negara afrika yang menjadi peserta piagam ini harus menhakui hak, kewajiban dan kebebasan yang diabaikan dalam piagam ini dan berjanji untuk menetapkan peraturan perundang-undangan atau langkah-langkah lain untuk memberlakukkannya. (Pasal 1 Piagam Afrika tentang HAM dan Hak Penduduk).
Ø  Setiap orang mempunyai hak atas pemulihannya yang efektif dan dapat dilaksanakan, yang dilakukan oleh suatu pengadilan atau lembaga-lembaga negara lainnya yang berwenang, atas pelanggaran yang dilakukan oleh oang, konstitusi atau hukum. (Pasal 5 Deklarasi HAM Asean).
Berbagai kewajiban negara terkait dengan Hak Asasi Manusia tersebut sejalan dengan dengan hukum Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutamanya pemerintah. Perlindungan dan penegakan HAM yagn dilakukan sesuai dengan perinsif-perinsif negara hukum yang demokrasi dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen HAM internasioanl. Indonesia telah menjadi negara pihak dilebih dari 7 Perjanjian Internasional HAM, termasuk pada tahun 2005, Indonesia meratifikasi dua konvenan pokok HAM, yaitu ; Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan politik dan konvenan Internasional Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.[9]
Dengan ratifikasi tersebut Indonesia telah menjadi negara pihak sehingga mempunyai kewajiban untuk melaksanakan pemenuhan hak-hak yang dijamin dalam berbagai bentuk instrumen HAM tersebut.
Selain atas komitmen untuk melindungi HAM sesuai ketentuan dalam instrumen HAM Internasional sebagai konsekuensi menjadi negara pihak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 juga mengatur bahwa hukum internasional yang diterima oleh Indonesia yang menyangkut HAM menjadi Hukum nasional. Pemerintah mempunyai kewajiban  dan bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM sebagaiman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan hukum internasional tentang HAM yang diterima oleh negara Republik Indonesia.
Tanggung Jawab Negara Terhadap HAM dalam Hukum Indonesia
Ø Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah (Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang 1945.
Ø Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggungjawab pemerintah (Pasal 8 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999)
Ø Ketentuan hukum internasional yang diterima oleh Republik Indonesia yang menyangkut HAM menjadi hukum Nasional. (
Ø Pemerintahan wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM yang diatur dalam undang-undang lain, dan hukum internasional tentang HAM yang diterima oleh negara Republik Indonesia (Pasal 71 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 19945).



Kewajiban Negara
Nilai-nilai HAM selalu tercemin dan dijamin oleh hukum, dalam bentuk perjanjian-perjanjian, hukum kebiasaan Internasional, perisip-perinsip umum dan norma-norma lain dari hukum internasional. Inilah yang dikenal dengan Hukum HAM, dan negara-negara yang melakukan perjanjian, atau mengikatkan diri dalam perjanjian atau mengakui norma-norma HAM dalam hukum kebiasaan hukum internasional terkait kontrak untuk meangakui, menghormati, melindungi dan memenuhi dan menegakkan HAM sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian HAM Internasional tersebut.
a.      Kewajiban untuk menghormati (to respect), mengacu pada kewajiban untuk menghindari tindakan intervensi oleh negara yang mengurangi hak-haknya atau menghalangi penikmatan hak.
Kewajiban untuk menghormati berarti negara harus menahan diri (Refrain) untuk melakukan intervensi atau campur tangan terhadap hak-hak yang dijamin. Atau membatasi untuk pelaksanaan pembatasan hak tersebut secara jelas tidak diperbolehkan. Sebagai contoh negara tidak boleh melakukan intervensi terhadap hak privasi. Contoh : Penyadapan atau intervensi komunikasi terhadap seseorang yang dilakukan oleh pemerintah jika dilakukan tidak bersdasarkan hukum atau dengan alasan yang diperbolehkan, merupakan pelanggaran hak Privasi tersebut.
b.     Kewajiban melindungi (to protect),  menuntut aksi negara yang positif untuk menjamin pihak ketiga tidak melanggar hak asasi manusia.
Kewajiban untuk melindungi mensyaratkan negara untuk bertindak aktif dalam melindungi individu dari serangan atau oleh pihak lain (non-state actors). Contoh negara harus memastikan bahwa setiap individu warga negara terjamin kebebasan beragama dengan cara setiap warga negara dapat melaksanakan hak tersebut secara bebas, tanpa adanya serangan atau gangguan dari orang lainnya.
c.      Kewajiban memenuhi (to fulfil), mengacu pada kewajiban negara untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif, admintrasi, peradilan dan tindakan-tindakan yang diperlukanuntuk memastikan bahwa hak-hak ayng diperhatikan dilaksanakan sebesar mungkin atau dapat diakses untuk semua orang.
Dengan kata lain bahwa kebutuhan untuk membatasi hak tersebut dan langkah pembatasan hanya diperbolehkan apabila bersifat proforsional dan sesuai dengan tujuan yang sah (legitimate). Pembatasan terhadap hak juga tidak boleh diberlakukan apabila akan mengurangi initi dari hak yang dilindungi.
Dalam hal negara mempunyai kewajiban untuk menghormati dan menjamin Hak Asasi Manusia mutlak bagi semua orang tanpa ada pengecualian berdasarkan apapun misalnya seperti; Ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul, kebangsaan atau sosial, kekayaan, atau stattus sosial lainnya, termasuk menjamin hak-hak yang sedarajat antara laki-laki dan perempuan.
Sedangkan kewajiban untuk menjamin (to insurane) adalah kewajiban yang bersifat positif (positive duty) yangmengandung dua jenis kewajiban yaitu kewajiban untuk melindungi (to protec) dan kewajiban untuk ememnuhi (to fulfill). Kewajiban untuk melindungi adalah kewajiban negara memberikan perlindungan, termasuk melindungi hak dari intervensi pelaku non-negara (private interference). Dalam hal ini termasuk pula kewajiban negaa untuk emngambil langkah-langkah yang perlu, misalnya melakukan pencegahan atas tindakan-tindakan yang dianggap dapat mengancam pelaksanaan hak atau, melakukan penghukuman pada perilaku peleanggaran. Sementara itu, kewajiban untuk memnuhi mengandung dua jenis kewajiban yaitu; untuk memudahkan (facilitate) dinikmatinya hak yang ada serta kewajiban untuk menyediakan (provide) berbagai hak yang dibutuhkan.
Jika negara tidak melakukan kewajiban maka negara dapat dikatakan melakukan pelanggaran HAM. Pelanggaran in terjadi karena negara gagal memnuhi kewajibannya melindungi hak-hak asasi manusia yang dijamin dalam hukum internasional maupun nasional, baik akrena sengaja melakukannya (commission), atau melakuakan pembiaran (Ommission).

5.        Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Penyelesaiannya
a.        Pelanggaran HAM Berat
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan sesorang atau kelompok orang atau termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secaramelawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijaminoleh undang-undang ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.[10]
Pelanggaran HAM yang berat dalam hukum Indonesia adalah 2(dua) bentuk kejahatan, yaitu ; 1) kejahatan genosida dan 2) kejahatan terhadap kemanusiaan. Kedua kejahat ini dalam sejumlah instrumen internasional dikenal sebagai bagian dari “the most serious crimes”.[11] Dalam UU No. 26 Tahun 2000, kejahatan-kejahat ini dirumuskan dari dalam Statuta Roma, yaitu terdapat dalam Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000.
Dalam Pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 kejahatan genosida dalam pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagaian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, denan cara :
1.       Membunuh anggota kelompok;
2.      Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap angota-anggota kelompok;
3.      Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
4.     Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok atau;
5.      Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke eklompok lain.
Dalam Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 Kejahatan terhadap kemanusian sebagaiaman dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakuakn sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
1.       Pembunuhan;
2.      Pemusnahan;
3.      Perbudakan;
4.     Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5.      Perampasan kemardekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan produk hukum internasional;
6.     Penyiksaan;
7.      Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
8.     Penganiyayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau hukum internasional;
9.     Penghilangan orang secara paksa ; atau
10.   Kejahatan apartaheid.
Berdasarkan pengertian dalam UU NO. 26 Tahun 2000, pelanggaran HAM yang berat adalah kejahatan yakni kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusaiaan, dimana dalam 2 kejahatan tersebut terhadap unsur-unsur khusus yang membentuk kejahatan biasa atau kejahatan pelanggaran HAM yang tidak berat. Persandingan ini sebenarnya tidak tepat karena seharusnya persandingan dengan istilah “gross violation of human rights”, yang merujuk pada pelanggaran HAM lainnya yang mempunyai dampak pelanggaran HAM yang berat. Sementara pengertian pelanggaran HAM yang berat dalam hukum positif indonesia hanya merujuk pada kejahatan genosida dan kejahatan terhadap manusia.


b.        Pelanggaran HAM dan Penyelesaiaanya
Konvenan hak-hak Sipil dan politik (ICCPR) memberikan tanggung jawab kepada negara pihak untuk melakukan segala upaya perlindungan baik jaminan hukum ataua kebijakan yang sesuai dengan konvenan. Selain itu konvenan juaga mewajibkan negara melakukan remedy bagi para korban yang dilanggar hak-hak yang diatur dalam konvenan.
Dalam hukum nasional dan konstitusi yaitu UUD 1945 secara jelas menyebut bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, utamanya pemerintah (Pasal 28I ayat 4). Dalam UU no. 39 tahun 1999 juga menyebut hal yang sama yakni pemerintah mempunyai kewajiban dan bertanggung jawab utnuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM yang diatur dalam berbagai UU dan hukum internasioanl tentang HAM yang diterima oleh Republik Indonesia (pasal 71 ayat (1)). Dalam  UU No. 39 Tahun 1999 memberikan jaminan kepada setiap individu warga negara untuk menggunakan upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran HAM yang dijamin oleh instrumen Nasional maupun internasional mengenai HAM yang telah diterima negara Republik Indoneisa (Pasal 7 Ayat 1).
Dengan kewajiban yang demikian, negara dalam hal ini pemerintah, bertanggungjawab atas adanya to protect, to respect, dan to fulfil atas penegakan HAM. Dalam hal terjadinya pelanggaran HAM, negara dan perangkatnya harus melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan adanya pemulihan kepada korban (remedy). Untuk memastikan tidak adanya pelanggaran HAM, lembaga-lemabga negara dan aparaturnya negara harus bertindak untuk sesuai dengan kwenangan berdasaraka UU untuk menjamin pelaksanaan hak yang dijamin. Setiap bentuk pealnggaran, atau pelanggaran hukum, pertanggung jawaban dapat dilakukan melalui mekanisme pengadilan.
Penyelesaian pelanggaran HAM dalam mekanisme pengadilan dapat dilaksanakn dengan berbagai bentuk dan dapat berfungsi sebagai sarana penegakan HAM baik hak-hak sipil dan politik, maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Pengadilan juga dapat menjadi sarana untuk menilai suatu kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan HAM atau tidak yaitu melalui mekanisme judisial review. Oleh karena itu para korban pelanggaran HAM dapat mengajukan gugatan, tuntutan, ataupun permohonan melalui sarana pengadilan.
Saat ini Indoneisa mempunyai beberapa lembaga yang mempunyai tugas secara khusus untuk memastikan terlaksananya penghormatan, pelrindungan, pemenuhan HAM seperti Komnas HAM, Komnas Perlindungan Anak, Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Ombudsman Republik Indonesia, Komisi , Informasi dan sebagaianya.
Perangkat negara lainnya yang mempunyai tugas untuk memastika terlaksananya perlindungan HAM, adalah DPR yang mempunyai kwenangan untuk membentuk, mengubah, meperbaiki kebijakan atau regulasi setingkat UU. DPR juga mempunyai kwenangan untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah dan lembaga-lembaga negara dan tindakan lainnya untuk memastikan adanya perlindungan, penghormatan, pemenuhan dan penegakan HAM (rapat kerja, rekomendasi, anggaran, pemilihan anggota-anggota lembaga tertentu, penyelidikan khusus-khusus tertentu, dll). DPR juga dapat menerima pengaduan adanya pelanggaran HAM, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah atau lembaga-lembaga negara lainnya. DPR juag dapat berfungsi untuk mealkukan legislative review atas peraturan yang terkait dengan HAM, melakukan pengawasan atas kebijakan pemerintah yang berdamapak pada HAM, atau kebijakan lainya yang merupakan implementasi dan pemenuhan HAM misalnya memberikan anggaran yang cukup untuk mendorong lembaga-lembaga yang penting bagi penegakan HAM dan sebagainya.
Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah mempunyai banyak kwenangan dan sumber daya untuk menghormati, melindungi, dan memnuhi HAM, baik dalam bentuk pembentukan peraturan, anggaran, admintrasi, atau langkah-langkah lainnya. Selain pemerintah. Masyarakat juga dijamin untuk melakukan langkah-langkah hukum untuk mempertahankan atau memulihkan hak asasi mereka. Dalam peraktiknya, berbagai kasus yang berdimensi HAM, masyrakat dan korban telah banyak mengajukan ke pengadilan atas pelanggaran HAM yang terjadi, baik melalui gugatan perdata, PTUN atau lainya.
Dalam onteks pelanggaran HAM, juga ada mekanisme pengaduan atau pelaporan internasional. Sebagaiamana dinyatakan dalam UU No. 39 Tahun 1999, setiap orang berhak untuk menggunakan segala upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran HAM yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum Internasional mengenai HAM yang diterima oleh Negara Republik Indonesia (pasal 7). Dalam instrumen HAM Internasional , dikenal juga upaya pengaduan/komplain yang pada intinya memberikan kesempatan kepada korban pelanggaran HAM untuk melaporkan kasusnya ke PBB, yang dikenal dengan laporan Bayangan.
6.        Pengadilan Hak Asasi Manusia[12]
Pengadilan HAM dicantumkan pertam kali dalam bab 9(sembila) tepatnya dalam Pasal 104 Undang-undang Nomo 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Yang berbunyi dalam Pasal 104 sebagai berikut:
(1)    Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk pengadilan hak asasi manusai dilingkungan peradilan umum.
(2)   Pengadilan sebagaiaman yang dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang dalam waktu paling lama 4 tahun.
(3)   Sebelum terbentuknya pengadilan hak asasi manusia sebagaiamana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaiaman dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang berwenang.
Karena pada waktu itu diperlukannya pengadilan HAM pemerintah membentuk pengadilan HAM dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM.[13] Sedangkan isi dari Perpu tersebut adalah tentang bentuk pengadilan, kwenangan, dan hukum acara yang khusus untuk pengadilan HAM, akan tetapi dalam perjalanannya Perpu tersebut ditolak oleh Dewan Perwakilan rakrayat selanjutnya disebut DPR, yang selanjutnya pemerintah dan DPR bersepakat untuk membuat Undang-undang yang mengatur tentang Pengadilan HAM yaitu Undang-undang Nomor 26 tahun 200 tentang Pengadilan HAM.
Sedangkan untuk pengertian Pengadilan Hak Asasi Manusia dijelaskan bahwa “ Pengadilan Hak Asasi Manusia selanjutnya disebut Pengadialan HAM pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia”.[14]
Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000, menyebutkan bahwa pembentukan pengadilan HAM didasarkan pada pertimbangan bahwa pelanggaran HAM yang berat merupakan “ektra oridinary crimes” dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional ,aupum internasional dan bukan merupakan tindakan pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian baik materil maupun imateril yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik perseorangan maupun masyrakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supermasi hukum utnuk mecapai kedamaian, keadilan, Kepastian, dan kemanfaatan.
Pengadilan mempunyai ciri yang lebih khusus yangmembedakan dengan pengadilan lainnya (Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, PTUN, dan Pengadailan Militer dll) yakni diantaranya :
1.       Pengaturan tentnag Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan pengadilan yang bersifat khusus ;
a.      Hukum acara dalam pengadilan HAM diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000, jika tidak diatur dalam UU tersebut maka berlaku UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (Pasal 10).
b.     Penyelidik dalam kasus pelanggaran HAM adalah Komnas HAM, yang dapat membentuk tim penyelidik ad-hoc dari unsur Komnas HAM dan masyarakat (Pasal 18). Kwenangan dalam penyelidikan (pasal 19), dan Komnas HAM meminta keterengan tertulis kepada jaksa agung mengenai perkembangan penyidik dan penuntutan perkara pelanggaran HAM berat (Pasal 25).
c.      Penyidikan dilakukan oleh Jaksa Agung, yang dapat membentuk tim Ad-hoc penyidik dari unsur Jaksa dan Masyrkat (Pasal 21 dan 22).
d.     Penuntutan oleh jaksa agung, yang dapat membentuk tim ad-hoc penyidik dari unsur kejaksaan dan masyarakat (Pasal 23 dan 24).
e.       Pemeriksaan perkara dipengadilan HAM dilakukan oleh 5 Majelis Hakim yang terdiri dari 2(dua) orang hakim pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad-hoc (pasal 27). Hakim ad-hoc diangkat oleh presiden untuk masa jabatan 5 (lima) tahun.
f.       Pemeriksaan perkara dipengadilan merupakan perosedur yang khusus, misalnya terkait dengan jangka waktu dari pengadilan tingkat 1 sampai pengadilan tingkat mahkamah agung (Pasal 31-33). Selain itu, dalam praktek pemeriksaan di pengadilan HAM juga menggunakan prosedur pembuktian yang berbeda, misalnya diperbolehkan menggunakan alat teleconfrence.
2.      Adanya ketentuan tentang perlindungan saksi dan korban;
a.      Setiap korban dan saski dalam pelanggaran HAM yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, ganguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang wajib dilaksanakan oleh aprrat penegak hukum dan aparat keamanan secara Cuma-Cuma (pasal 34);
b.     Pemerintah membentuk peraturan pemerintah (PP) No.2 Tahun 2002 tentang tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi dan pelanggaran HAM yang berat;
c.      Pada tahun 2006, terbentuk UU No. 13 Tahun 2006 tentnag perlindungan saksi dan korba, yang mengatur hak-hak saksi lebih lengkap, baik hak-hak prosedural dan substantif.
3.      Adanya ketntuan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban;
a.      Setiap korban dan saksi daam pelanggaran HAM yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, retribusi, dan rehabilitasi, yang dicantumkan dalam amar putusan HAM (Pasal 35);
b.     Pemerintah membentuk PP No. 3 tahun 2002 tentang Kompensasi dan restitusi dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM yang berat;
c.      Tahun 2008, terbentuk PP nNo. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, retribusi dan Bantuan kepada Korban dan saksi.
4.     Tidak ada ketentuan mengenai kadaluarsa;
a.      Dalam perkara pelanggaran HAM yang berat tidak kenal adanya daluarsa, atau berhentinya putusan karena habis masa waktu (Pasal 46). Hal ini sejalan dengan norma internasional untuk kejahatn-kejahatan yang termasuk pelanggaran HAM yang berat tidak dikenal “statute of limitations”[15]
 Undang-undang nomor 26 tahun 2006 memberikan 2 (dua) mekanisme dalam peroses peradilan terhadap perkara pelanggaran HAM yagn berat. Pertama adalah Pengadilan HAM dibentuk untuk peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah terbentuknya UU yaitu setelah tahun 2000. Kedua, pengadilan HAM ad-hoc untuk peristiwa yang terjadi sebelum terbentuknya UU, atau sebelum tahun 2000. Pengadilan HAM ad-hoc inilah yang mempunyai mekanisme khusus, yaitu terbentuknya pengadilan ad hoc, diperlukannya persetujuan dari DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden (pasal 43).[16] Dalam UU No. 26 Tahun 2002 Pasal 47 dalam perkara pelanggaran HAM berat tidak menutup kemungkinan dibentuk diselesaikan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Semenjak dibentuk tahun 2000, saat ini telah ada 3 perkara yang diajukan ke Pengadilan yakni 2 perkara untuk peristiwa sebelum tahun 2000 dengan pengadilan HAM ad-hoc (pelanggaran HAM yang berat di timor-timur dan tanjung periok), dan perkara yang terjadi setelah tahun 2000 dengan pengadilna HAM (perkara abdipura,Papua).
7.        Korupsi dan Pelanggaran HAM
Istilah korupsi itu bersal dari bahasa latin, corruptio, corruptus. Kata itu artinya suatu perbuatan buruk, busuk, bejat, dapat disuap, tidak bermoral, dan pasti tidak suci.[17] Korupsi dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk kepentingan pribadi. Dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana Korupsi merumuskan empat unsur dalam tindak pidana korupsi,yaitu unsur penyalahgunaan wewenang, unsur memperkaya diri sendiri atau korporasi, unsur merugikan keuangan negara dan unsur pelanggaran hukum. Pengertian lain tentang korupsi yang sangat terkenal dirumuskan oleh Robert Klitgaard. Klitgaard merumuskan bahwa korupsi terjadi karena kekuasaan dan kewenangan tidak diimbangi dengan akuntabilitas. Yaitu dikenal dengan rumus C = M + D (Coruption = Monopoli + Discreation).
Kalo kita melihat dari segi makna dan pengaturannya dalam regulasi memang Korupsi tidak ada relevansinya dengan HAM. Pada ranah strategi, pemberantasan korupsi juga tidak terlalu terkait dengan penegakan HAM. Kalau mengikuti rumus Klitgaard, korupsi dapat diberantas dengan mengurangi monopoli dan kewenangan serta pada saat yang sama mendorong peningkatan akuntabilitas publik. Dari sisi hukum, korupsi dapat diberantas dengan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya terhadap pelakunya. Sehingga dengan  begitu dapat menimbulkan efek jera bagi yang lain sehingga perbuatan korpusi tidak berkembang.
Dengan tidak adanya relevansi diatas maka perlu dikaji lebih dalam untuk memepertemukan gagasan tentang HAM dan Korupsi yang dapat dilihat dalam dokument HAM Internasional yaitu Universal Declaration of Human Right (Deklarasin Unversal Hak Asasi Manusia). The International Convennt on Civilan Polical Right (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik), dan The International Convenant on Economic, Social and Cultural Right (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi dan Budaya). Dari ketiga dokument diatas dapat diintervretasikan bahwa sesungguhnya korupsi merupakan pelanggaran HAM terutama dalam beberapa hal seperti :
1.            Hak untuk Berafiliasi
Termasuk dalam kategori ini adalah hak untuk menentukan nasib sendiri (ICCPR Pasal 1, ICESCR Pasal 1), hak untuk berorganisasi (ICCPR Pasal 22, ICESCR Pasal 8), hak kebebasan praktek dan kepercayaan budaya (ICCPR Pasal 27, ICESCR Pasal15) dan hak kebebasan beragama (ICCPR Pasal 18). Pelanggaran atas hak ini terjadi bila korupsi terjadi pada kebijakan yang diambil pemerintah yang menyebabkan kerusakan lingkungan, menguntungkan perusahaan besar dan meminggirkan masyarakat adat yang telah menghuni kawasan tersebut secara turun temurun.
2.           Hak atas hidup, kesehatan tubuh dan integritas
Termasuk dalam kategori ini adalah bebas dari penyiksaan (ICCPR Pasal 7), hak atas kehidupan (ICCPR Pasal 6), hak atas kesehatan (ICESCR Pasal 12) dan hak atas standar hidup yang layak atu memadai (ICESCR Pasal 11). korupsi yang melibatkan banyak pihak. Contoh lain yang dapat dikemukakan adalah penembakan warga oleh kepolisian di pelabuhan Save Bima ketika warga masyrakat melakukan demontrasi untuk menolak pembukaan pertambangan.
3.           Hak untuk berpartisipasi dalam politik
Termasuk dalam kategori ini adalah hak kebebasan berekspresi (ICCPR Pasal 19), hak untuk memilih dalam pemilihan umum (ICCPR, Pasal 15). Kebebasan berekspresi termasuk hak untuk mendapatkan informasi dalam berbagai bentuk. Pelanggaran atas hak kebebasan berekspresi dapat dilihat pada gugatan pencemaran nama baik yang dilakukan terhadap aktivis anti korupsi . hal yang sama juga dapat dilihat dalam praktek money politics dalam pemilihan umum dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak untuk memilih. Dengan adanya money politics, akan mendorong pemilih untuk memilih bukana tas khendaknya sehingga menutup kesempatan kepada orang yang mempunyai integritas.
4.          Hak atas penegakan hukum dan non-diskriminasi
Hak ini termasuk hak atas pengadilan yang adil dan penghargaan individu setara di depan hukum (ICCPR, Pasal 9-15). Kategori pelanggaran atas hak ini dapat kita temukan dalam peroses penegakakan hukum ditataran pengadilan, yang dimana sering sekali didapti putusan-putusan yang bersifat ganjil dan tidak sesuai dengan harapan, sehingga masyrakat sering menyebutkan adanya Mafia peradilan.
5.           Hak atas pembangunan sosial dan ekonomi
Termasuk dalam kategori ini adalah untuk mendapatkan kerja yang layak (ICESCR, Pasal 6-9), hak atas pendidikan (ICESCR, Pasal 13-14). pelanggaran hak ini dapat terjadi ketiak dalam peroses penyusunan untuk alokasi budget yang tidak adil. Seperti dapat kita saksikan pada APBN, sebagian besar alokasinya untuk pembayaran utang dalam negeri dan luar negeri. Anggaran pendidikan hanya mendapat kurang dari 10%. Apalagi anggaran kesehatan yang jauh dari akta layak. Sehingga dalam kasus ini dapat dikatakan bahwa negara secara Jelas dalam  telah melakukan pelanggaran HAM.
8.        Penutup
Penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM di Indonesia dalam tataran regulasi semakin baik, akan tetapi banyak kasus pelanggaran HAM tidak membuat mulusanya penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan pemajuan HAM sesuai dengan peraturan yagn berlaku, karena sulitnya dalam peroses pengungkapn kasus pelanggaran HAM. Dengan melihat uraiaan diatas bahwa sudah seharunya Nilai-nilai dalam HAM dapat hidup digunakan sebagai perspektif dalam melihat dan menganalisis korupsi sehingga korupsi merupakan kejahatan terhadap HAM yang tidak secara langsung dapat di uraikan sebagaiaman jenis pelanggaran HAM dalam UU No. 26 tahun 2000. Melalui analisis HAM, wacana korupsi dapat diberantas dengan kajian dalam bentuk angka dan perhitungan teknis serta analisis hukum yang manipulatif. Melalui HAM, kita melihat deretan korban korupsi yang akan terus bertambah. Pada gilirannya, menggunakan instrumen HAM akan dapat mendorong partisipasi masyarakat. Karena melalui perspektif HAM dapat ditunjukkan dengan nyata bagaimana masyarakat menjadi korban dalam kasus Korupsi.







Daftar Pustaka
Peraturan Nasional :
1.       Undang-Undang Dasar 1945
2.      Udang-Udang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
3.      Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4.     Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manuisa.
5.      Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasioanl tentang Hak Sipil dan Politik.
6.     Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Instrumen Internasional :
1.       Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration on Human Rights)
2.      Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosila dan Budaya (The Internasional Convenat on Economic, Sosial dan Cultural Rights)
3.      Konvenan Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik.
4.     Komentar umum (general coment) Komite HAM PBB No. 34 Tahun 2004.
5.      Perinsip-perinsip Siracusa tentang pembatasn dan pengurangan ketentuan dalm konevena internasioanl Hak-hak sipil dan politik.
Instrumen Regional :
1.       Deklarasi HAM Asean
Buku :
1.      Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, dkk. Menuju Keadilan Global. 2012 Serpico Printing.
2.      SOMASI NTB. Mencabut Akar Korupsi.2003
3.      ELSAM.Kebebasan Berekspresi di Internet. 2012
4.      Robert Klitgard dkk . Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah.2002 (edisi terjemahan oleh yayasan Obor Indoneisa).



[1] Makalah disampaikan pada Sekolah Anti Korupsi (SANTRI) SOMASI NTB Tahun 2015.
[2] Koordinator Divisi Bidang Ekonomi dan Politik Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (SOMASI), Nusa Tenggara Barat.
[3] ELSAM “Buku Saku Kebebasan Berekspresi di Internet”.
[4] Manfred Nowak, ”Introduction to the International Human Right Regime”, Martinus Nijhoff Publisher, 2003
[5] Pasal 1 angka 1. “Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusi.”
[6] Pasal 1 angka 6.
[7] Pasal 28H ayat 2 “Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia”.
[8] Ibid.
[9] Kedua Konvenan ini diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2005 dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005.
[10] Pasal 1 angka 6. “Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia”.
[11] Kejahatan dalam “the most serious crimes” sebagaimana didifinisikan dalam Statuta Roma 1998 adalah 1). Kejahatan genosida, 2). Kejahatan terhadap kemanusiaan, 3). Kejahatan perang, dan 4).kejahatan agresi (pasal 6,7,8) Statuta Roma.
[12] Penjelasan pembentukan pengadilan Hak Asasi Manusia dapat di temukan dalam Pasal 104 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999.
[13] Dibentuk pada tanggal 8 Oktober 1999
[14] Pasal 1 Ayat (3).Úndang-Undang Nomor 26 Tahun 2002 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia”.
[15] Pasal 29 statuta Roma Tahun 1998.”the ceimes within the jurisdiction of the court shall not be subject to any statatute of limitations”
[16] Misalnya dalam perkara penghilangan paksa tahun 1997-1998, DPR pada tahun 2009 memberikan rekomendasi pemebentukan pengadilan HAM ad-hoc untuk kasus tersebut.
[17] SOMASI NTB. ­buku Mencabut Akar Korupsi.2003