Oleh : Abdul Kasim
1.
Pengantar
Reformasi tahun 1998, menjadikan Indonesia memasuki era baru
ke Arah Negara yang demokrasi dan menghargai hak-hak asasi manusia.
Perlindugan, Penghormatan, Pemenuhan dan Pemajuan hak-hak asasi manusia adalah
ciri penting suatu negara hukum yang demokratis. Tetapi seiring dengan
Penegakan Hak Asasi Manusia yang diatur
dengan semakin baik tidak membuat Perlindungan, Pemenuhan, Penghormatan dan
Pemajuan HAM semakin lebih baik. Salah satu isu yang sedang dikembangkan saat
ini adalah Korupsi merupakan kegiatan pelanggaran hak asasi manusai secara
tidak langsung terhadap Individu dari masyarakt, tetapi lebih menyerang kepada
tatanan sosial yang membuat ketidak seimbangan dalam Pemenuhan, Penghormatan,
hak asasi manusia yang dilakuakn oleh para koruptor. Sehingga perlu
dipertimbangkan Pemberantasan korupsi di Indonesia harus dijadikan agenda penegakan hak asasi
manusia. Hal ini sangat penting karena anggaran uang negara yang dirampok,
merupakan uang untuk pemenuhan hak-hak rakyat baik secara individu maupun
bersama-sama. Kerangka penghukuman koruptor dengan perspektif pelanggaran HAM
akan memberat hukuman dan menjadikannya sebagai hostis humanis genaris (musuh
bagi semua umat manusia) yang perlu kita lawan secara bersama-sama.
2.
Mengenal Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak paling dasar dari manusia.
Hak-hak tersebut menjelaskan hubungan antara individu dan struktur kekuasaan,
khususnya dengan negara. Hak Asasi Manusia membatasi kekuasaan negara, dan pada
saat yang sama, memberikan peran kepada negara untuk melakukan
tindakan-tindakan yang positif untuk memastikan adanya kondisi bahwa semua
orang dapat menikmati hak-haknya.
Dalam
peroses HAM mengalami perkembangan melalui tiga tahapan generasi :
Ø Generasi Pertama, perkembangan hak-hak sipil dan politik (hak untuk hidup,
kebebasan dan keamanan peribadi, persamaan hak di depan hukum, hak atas nama
baik, hak untuk bebas dari pembatasan bergerak dan berdomisili, hak untuk
bebas berpikir, berkeyakinan, dan beragama, kebebasan berbicara, hak atas
informasi, hak untuk memilih dan dipilih, hak untuk referendum, dan
sebagainya)
Ø Generasi Kedua, perkembangan hak-hak sosila, termasuk hak-hak ekonomi dan
budaya (hak untuk bekerja dan mendapatkan upah yang layak, hak utnuk
mendapatkan kepastian hukum tentang jam kerja, hak libur, hak melakukan mogok
kerja, hak mendapatkan pendidikan, hak untuk melakukan penelitian ilmiah dan
melakukan penemuan, dan sebagainya)
Ø Generasi ketiga, perkembangan hak-hak solidaritas/kolektif (seperti : hak
untuk melakukan kerjasama dengan berbagai pihak dan mengembangkan dimensi
kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari. Contoh yang spesifik dapat ditemukan
dalam kerangka bangsa, nasional, etnik, agama, dan budaya minoritas, dala
hubungannya dengan hak pembangaunan, hak atas perdamaian, hak untuk berbeda
bahasa, warna dan berbeda kebudayaan, dan sebagiannya)
|
Dalam fase perkembangan dari tiga generasi di atas
mengukuhkan bagaimana pengakuan dan jaminan Hak Asasi Manusia memunculkan
konsep tentang hak-hak yang tidak dapat dicabut/dikurangi dalam pemenuhan dalam
keadaan apapun (non derogable right) dan
hak-hak yang tidak dapat dibatasi atau dikurangi peenuhanya (derogable deright).
Hak-hak
dalam jenis non derogable merupakan
hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi atau dibatasi
pemenuhannya, walaupun dalam keadaaan darurat sekalipun, berikut jenis hak-hak
yang termasuk dalam non derogable :
i.
Hak atas hidup;
ii.
Hak bebas dari
penyiksaan;
iii.
Hak bebas dari
perbudakan;
iv.
Hak bebas dari penahan
karena gagal memnuhi perjanjian;
v.
Hak bebas dari
pemidanaan yang berlaku surut;
vi.
Hak sebagai subyek
hukum, dan;
vii.
Hak atas kebebasan
berfikir, keyakinan dan agama. (Pasal 4 ayat (2) Kovenan Hak Sipil dan
Politik).
Hak asasi manusia diakui dan dijamin dalam berbagai instrumen
HAM Internasional, regional maupun nasional sebagai berikut .
a.
Instrumen HAM
internasioanl tersebut diantaranya :
1)
Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia atau Declaration on Human Right (UDHR)
2)
Konvenan Internasional
Hak-hak sipil dan plitik (KIHSP) atau the Internasional Convenant on Civil and
Political Rights (ICCPR);
3)
Kovenan Internasional
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) atau the International Convenant on
Ekonomic, Sosial and Culture Rights (IESCR), dan lainnya terkait dengan HAM
yang disusun oleh PBB atau Badan-badan internasional lainnya.
b.
Instrumen HAM di
tingkat regional diantaranya :
1)
Konvensi Erofa tentnag
HAM dan Kebebasan Dasar atau European Convention on Human Rights;
2)
Konvensi Amerika
tentang atau American Convention of Human Rights;
3)
Piagam Afrika tentang
HAM dan Hak Penduduk atau African Charter on Human and Peoples Rights;
4)
Deklarasi HAM Asean
atau Asean Human Rights Declaration,
Perkembangan tentnang jaminan dan
perlindungan HAM juga dibentuk melalui berbagai keputusan pengadilan HAM di
tingkat regional, misalnya Pengadilan HAM Negara-Negara Inter-Amerika (the
Inter-Amerika Court of Human Rights) dan Pengadilan HAM Erofa (the European
Court of Human Right).
c.
Instrumen HAM di
tingkat Nasional, Indonesia telah menajmin berbagai Hak Asasi Manusia yang
tertuang dalam Konstitusi maupun Peratuaran perundang-undangan, berikut
instrumen HAM di tingkat Nasional :
1)
Tap MPR Nomor XVIII
tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia.
2)
Undang-Undang Dasar
1945 memeuat secara khsusus tentang HAM yaitu dalam BAB XA.
3)
Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang HAM dan memuat tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNAS HAM).
4)
Undang-Undang Nomor 11
tahun 2005 tentang pengesahan Konvenan
Internasional Ekonomi, Sosial dan Budaya dll.
Dalam instrumen Nasional pengertian
disejalskan bahwa, Hak Asasi Manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai mahluk wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja
maupun tidak disengaja, atau kelalaian secara melawan hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi, dan mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok
orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak medapatkan, atau
dikhawtirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
3.
Perinsip-Perinsip Hak Asasi Manusia
Dalam hak asasi manusia terkandung berbagai perinsip, yaitu
i). Universal dan tidak dapat dicabut, ii). Tidak dapat dibagi-bagi; iii).
saling terkait dan saling tergantung;
iv). Persamaan dan non diskriminasi, v). partisipasi dan keikutsertaan,
dan vi). Akuntabilitas dan rule of the
law. Berikut penjelasan masing-masing perinsif dalam Hak Asasi Manusia.
i.
Perinsip Universal dan tidak dapat dicabut, mengandung maksud bahwa hak-hak tersebut didasarkan pada
martabat setiap individu manusia, terlepas dari ras, warna kulit, jenis
kelamin, asal usul, etinitas dan sosila, agama, bahasa, nasionalitas, usia atau
pembeda lainnya. Semenjak sifat universal ini diterima oleh semua negara, maka
dalam penerapannya harus berlaku secara sama dan tanpa diskriminasi kepada
semua orang dan di segala temat. Hak asasi manusia tidak dapat dicabut berarti
bahwa hak-hak seseorang tidak dapat dilepaskan atau diambil, kecauli atas
situasi yang terjadi berdasarkan hukum.
ii.
Perinsip tidak dapat
dibagi-bagi. Hak Asasi Manusia
melekat pada martabat semua manusia terlepas apakah hak-hak tersebut terkait
dengan masalah-masalah sipil, budaya, ekonomi, politik atau sosila.
Konsekuensinya , semua hak asasi manusia mempunyai setatus yang sama, dan tidak
dapat ditempatkan dalam posisi berdasarkan derajat atau hirarki. Pengabaian
atas suatu hak akan mengabaiakan hak-hak yang lain.
iii.
Perinsip saling tergantung dan terkait. masing-masing hak berkontribusi atas pelaksanaan martabat
seseorang melalui pemuasan kebutuhan-kebutuhan atas perkembangan, fisik,
psikologi, atau spritual. Pemenuhan atas suatu hak sering tergantung ,
keseluruhan atau sebagian, pada pemenuhan hak-hak lainnya.
iv.
Perinsip persamaan dan non diskriminasi. Mengandung arti bahwa semua orang adalah sama sebagai manusia
serta mempunyai martabat yang sama. Pelaksanaan hak asasi manusia dilaksanakan
tanpa adanya diskriminasi atas dasar apapun, termasuk jenis kelamin, ras, warna
kulit,bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, kebangsaan,
asal-usul etinitas maupun sosial, minoritas, kekayaan, kelahiran, usia,
disabilitas, orientasi seksual, atau berdasarkan status lainnya.
v.
Perinsip partisipasi dan keikutsertaan. Artinya bahwa semua orang mempunyai hak untuk berpartisipasi
dalam mengakses informasi atas peroses pembuatan kebijakan yang akan
mempengaruhi kehidupan dan kesejahteraan mereka
vi.
Perinsip akuntabilitas dan rule of law. berarti bahwa negara dan pemegang kewajiban lainnya dapat
diawasi dan mampu mempertanggungjawabkan atas semua tindakannya terkait dengan
hak asasi manusia. Dalam hal ini mereka harus menyesuaikan dengan norma-norma
hukum dan standar yang ditetapkan dalam instrumen hak asasi manusia
Internasional. Jiak gagal melakukan hal tersebut, pihak yang terlanggar hak
asasinya berhak untuk mengupayakan peroses pemulihan yang layak berdasarkan
pengadilan yang kompeten atau mekanisme lannya yang sesuai dengan hukum dan
mekanisme yang ada. Setiap orang, media, masyrakat sipil dan masyrakat
internasional mempunyai peranan penting dalam memastikan akuntabilitas
pemerintahan terhadap kewajiban mereka untuk meneggakkan Hak asasi manusia.
Dari uraian perinsip dalam hak asasi manusai diatas perlu
diperhatikan terkait dengan perinsip persamaan dan non diskriminasi, yaitu
harus dipahami secara terbuka bahwa tidak setiap pembedaan merupakan tindakan
yang bersifat diskriminatif. Pembedaan baik berdsarkan hukum atau dalam
kenyataanya yang didasarkan hukum atau dalam kenyataanya yang didasarkan pada
kriteria yang masuk akal dan obyektif diperbolehkan, pembedaan tersebut harus
dibuktikan untuk emnujukan bahwa perlakuan tersebut memang benar dan masuk akal
dan obyektif. Beberapa kelompok atau individu dapat menikmati hak-hak khusus,
sebagaimana dinyatakan dalam berbagai instrumen hak asasi manusia, yang ditunjukan
untuk melindungi hak-hak individu dan kelompok dengan kebutuhan khusus
tersebut. Perlakuan khusus atau pembedaan perlakuan tersebut haruslah dilakuakn
dalam jangka waktu yang terbatas, sesuai dengan kebutuhan utnuk mencapai
persamaan dalam hal perlakukan khusus sudah mencapai tujuan yaitu kesetaraan,
maka tindakan pemebedaan tersebut harus dicabut, tindakan ini dikenal dengan
tindakan affirmatif ( affirmative action).
Konstitusi dan peraturan perundang-undangan
di indonesia, menjamin berbagai perinsip tersebut perinsip universalitas hak
asasi manuisa diakui, karena Indoneisa telah menerima dan menjadi negara pihak
dalam berbagai perjanjian hak asasi manusia. Dalam peraturan perundang-undangan
di indoneisa jelas menyatakan larangan untuk melakukan diskriminasi dalam
segala bentuknya. Dai dalam konstitusi Indoneisa mengakui adanya tindakan affirmative actions, yang menjamin bahwa
hak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Berikut peraturan yang mengatur jaminan hak
untuk bebas dari tindakan diskriminasi dalam hukum positif Indonesia.
·
Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalalm hukum dan pemerintahan dan wajib menjujung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya ( Pasal 27 ayat 2 UUD 1945)
·
Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal
28D ayat 2 UUD 1945)
·
Setiap orang berhak
bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskrimatif
itu (Pasal 28I ayat 2 UUD 1945)
·
Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta
mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama didepan hukum.(pasal 3 ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999)
·
Setiap orang diakui
sebagai manusia peribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta
perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaanya di depan hukum. (Pasal 5 ayat 1 UU no 39 Tahun 1999)
|
Setelah panjang lebar membahas non
diskrimanasi, perlu kita ketahua bahwa diskriminasi adalah perlakuan yang tidak
seimbang yang mengakibatkan pengurangan, penyimpangan penggunaan hak asasi
manusia. Dalam Pasal 1 angka 2 undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia di jelaskan bahwa Diskriminasi adalah pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada sejumlah dasar
pembedaan yang mengakibatkan pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi,
hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lannya.
4.
Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Negara
Setiap
negara setidaknya mempunyai 3 (tiga) kewajiban terkait dengan hak asasi
manusia, yaitu ; kewajiban untuk menghormati (to resfect), melindungi (to
protect) dan memnuhi (to fulfil). Keseimbangan
antara ketiga kewajiban atau tanggung jawab tersebut beragam sesuai dengan
hak-hak yang dijamin, dan diterapkan terhadap semua hak-hak, serta mencangkup hak-hak
sipil dan politik, dan semua hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Negara juga
berkewajiban untuk menyediakan pemulihan (remedy)
atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi.
Dalam
hal negara menjadi pihak dalam perjanjian Internasional tentang Hak Asasi
Manusia, maka negara harus mematuhi kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian
tersebut. Misalnya dalam Konvenan Hak Sipil Politik, terdapat kewajiban bagi
negara untuk meyesuaikan instrument hukum nasionalnya dengan melakukan
langkah-langkah yang diperlukan untuk membentuk, mengubah, atau mencabut
regulasi atau kebijakan lainnya sesuai dengan ketentuan dalam konvenan.
Selain
itu negara berkewajiban menjamin bahwa orang-orang yang terlanggar haknya untuk
mendapat pemulihannya yang efektif, baik melalui lembaga peradilan, legislatif
, upaya adminstrasi, maupun upaya lainnya. Setiap orang yang menyatakan
hak-haknya telah terlanggar harus mampu untuk mendapatkan pemulihan yang
efektif berdasarakan mekanisme nasional yang disediakan. Kewajiban negara ini
diantaranya :
a.
Membawa para pelaku pelanggaran ke pengadilan;
b.
Termasuk pejabat
publik yang melakukan pelanggaran;
c.
Memberikan ganti
kerugian kepada korban; dan
d.
Mencegah timbulnya
kembali pelanggaran.
Ketentuan tentang Kewajiban Negara
terhadap HAM dalam instrumen HAM Internasional dan Regional
|
Ø Setiap Negara Pihak pada Konvenan ini berjanji untuk
menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui delam konvenan ini bagi semua
orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa
pembedaan apapun seperti waran kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik
atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran
atau setatus sosial. ( Pasal 2 ayat 1 Konvena Hak Sipil dan Politik.
Ø Apabila belum diatur dalam ketentuan perundang-undangan
atau kebijakan lainnya yang ada, setiap negara pihak dalam konvenan ini
berjanji untuk mengambil langkah-langakh yang diperlukan, sesuai dengan
peroses konstitusinya dan dengan ketentuan-ketentuan dalam konvenan ini,
untuk menetapkan ketentuan perundang-undangan atau kebijakan lain yang
diperlukan untuk memberlakukan hak-hak yang diakui dalam konvenan ini. (Pasal
2 ayat 2 Konvenan Hak Sipil dan Politik).
Ø Setiap negara pihak
dalam konvenan ini berjanji : (Pasal 2 ayat 3 Konvenan Hak-hak Sipil
dan Politik)
a)
Menjamin bahwa
setiap orang yang hak-hak atau kebebasannya diakui dalam konvenan ini
dilanggar, akan memperoleh upaya pemulihan yang efektif, walaupun pelanggaran
tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi;
b)
Menjamin, bahwa
setiap orang yang menuntut upaya pemulihan tersebut harus ditentukan
hak-haknya itu oleh lembaga peradilan, adminstratif, atau legislatif yang
berwenang, atau oleh lembaga berwenang lainnya yang diatur oleh sistem hukum
negara tersebtu, dan untuk mengembangkan segala kemungkinan upaya
penyelesaian peradilan;
c)
Menjamin, bahwa
lembaga yang berwenang tersebut akan melaksanakan penyelesaian demikian
apabila dikabulkan. (Pasal 2 ICCPR)
Ø Negara pihak harus menjamin setiap orang dalam wilayah
hukumnya masing-masing semua hak dan kebebasan yang disebutkan dalam bagain I
dari Konvensi ini. (Pasal 1 Konvensi Erofa tentang HAM dan Kebebasan Dasar
Ø Negara pihak Konvensi ini berjanji untuk menghormati semua
hak dan kebebasan yang diakui di dalamnya dan menjamin semua orang yang
berada dalam yuridiksi mereka akan pelaksanaan yang bebas dan sepenuhnya dari
semua hak dan kebebasan tersebut, tanpa diskriminasi apapun karena alasan
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik, atau
pendapat yang lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, status, ekonomi,
kelahiran, atau keadilan sosial lainnya. (Pasal 1 Ayat 1 Konvensi Amerika
tentang HAM).
Ø Para Negara anggota organisasi persatuan negara afrika yang
menjadi peserta piagam ini harus menhakui hak, kewajiban dan kebebasan yang
diabaikan dalam piagam ini dan berjanji untuk menetapkan peraturan
perundang-undangan atau langkah-langkah lain untuk memberlakukkannya. (Pasal
1 Piagam Afrika tentang HAM dan Hak Penduduk).
Ø Setiap orang mempunyai hak atas pemulihannya yang efektif
dan dapat dilaksanakan, yang dilakukan oleh suatu pengadilan atau
lembaga-lembaga negara lainnya yang berwenang, atas pelanggaran yang
dilakukan oleh oang, konstitusi atau hukum. (Pasal 5 Deklarasi HAM Asean).
|
Berbagai
kewajiban negara terkait dengan Hak Asasi Manusia tersebut sejalan dengan
dengan hukum Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan perlindungan,
pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutamanya
pemerintah. Perlindungan dan penegakan HAM yagn dilakukan sesuai dengan
perinsif-perinsif negara hukum yang demokrasi dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Indonesia
telah meratifikasi berbagai instrumen HAM internasioanl. Indonesia telah
menjadi negara pihak dilebih dari 7 Perjanjian Internasional HAM, termasuk pada
tahun 2005, Indonesia meratifikasi dua konvenan pokok HAM, yaitu ; Konvenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan politik dan konvenan Internasional Hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya.
Dengan
ratifikasi tersebut Indonesia telah menjadi negara pihak sehingga mempunyai
kewajiban untuk melaksanakan pemenuhan hak-hak yang dijamin dalam berbagai
bentuk instrumen HAM tersebut.
Selain
atas komitmen untuk melindungi HAM sesuai ketentuan dalam instrumen HAM
Internasional sebagai konsekuensi menjadi negara pihak, Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 juga mengatur bahwa hukum internasional yang diterima oleh Indonesia
yang menyangkut HAM menjadi Hukum nasional. Pemerintah mempunyai kewajiban dan bertanggung jawab untuk menghormati,
melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM sebagaiman yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan hukum internasional tentang HAM yang
diterima oleh negara Republik Indonesia.
Tanggung Jawab Negara
Terhadap HAM dalam Hukum Indonesia
|
Ø Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah
tanggungjawab negara, terutama pemerintah (Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang
1945.
Ø Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi
manusia menjadi tanggungjawab pemerintah (Pasal 8 Undang-undang Nomor 39
tahun 1999)
Ø Ketentuan hukum internasional yang diterima oleh Republik
Indonesia yang menyangkut HAM menjadi hukum Nasional. (
Ø Pemerintahan wajib dan bertanggungjawab menghormati,
melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM yang diatur dalam undang-undang
lain, dan hukum internasional tentang HAM yang diterima oleh negara Republik
Indonesia (Pasal 71 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 19945).
|
Kewajiban Negara
Nilai-nilai
HAM selalu tercemin dan dijamin oleh hukum, dalam bentuk perjanjian-perjanjian,
hukum kebiasaan Internasional, perisip-perinsip umum dan norma-norma lain dari
hukum internasional. Inilah yang dikenal dengan Hukum HAM, dan negara-negara
yang melakukan perjanjian, atau mengikatkan diri dalam perjanjian atau mengakui
norma-norma HAM dalam hukum kebiasaan hukum internasional terkait kontrak untuk
meangakui, menghormati, melindungi dan memenuhi dan menegakkan HAM sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian HAM Internasional tersebut.
a.
Kewajiban untuk
menghormati (to respect), mengacu
pada kewajiban untuk menghindari tindakan intervensi oleh negara yang
mengurangi hak-haknya atau menghalangi penikmatan hak.
Kewajiban untuk menghormati berarti negara harus menahan diri
(Refrain) untuk melakukan intervensi
atau campur tangan terhadap hak-hak yang dijamin. Atau membatasi untuk
pelaksanaan pembatasan hak tersebut secara jelas tidak diperbolehkan. Sebagai
contoh negara tidak boleh melakukan intervensi terhadap hak privasi. Contoh : Penyadapan
atau intervensi komunikasi terhadap seseorang yang dilakukan oleh pemerintah
jika dilakukan tidak bersdasarkan hukum atau dengan alasan yang diperbolehkan,
merupakan pelanggaran hak Privasi tersebut.
b.
Kewajiban melindungi (to protect), menuntut aksi negara yang positif untuk
menjamin pihak ketiga tidak melanggar hak asasi manusia.
Kewajiban
untuk melindungi mensyaratkan negara untuk bertindak aktif dalam melindungi
individu dari serangan atau oleh pihak lain (non-state actors). Contoh negara
harus memastikan bahwa setiap individu warga negara terjamin kebebasan beragama
dengan cara setiap warga negara dapat melaksanakan hak tersebut secara bebas,
tanpa adanya serangan atau gangguan dari orang lainnya.
c.
Kewajiban memenuhi (to fulfil), mengacu pada kewajiban
negara untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif, admintrasi, peradilan dan tindakan-tindakan
yang diperlukanuntuk memastikan bahwa hak-hak ayng diperhatikan dilaksanakan
sebesar mungkin atau dapat diakses untuk semua orang.
Dengan
kata lain bahwa kebutuhan untuk membatasi hak tersebut dan langkah pembatasan
hanya diperbolehkan apabila bersifat proforsional dan sesuai dengan tujuan yang
sah (legitimate). Pembatasan terhadap
hak juga tidak boleh diberlakukan apabila akan mengurangi initi dari hak yang
dilindungi.
Dalam hal negara mempunyai kewajiban untuk menghormati dan
menjamin Hak Asasi Manusia mutlak bagi semua orang tanpa ada pengecualian
berdasarkan apapun misalnya seperti; Ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pandangan lain, asal-usul, kebangsaan atau sosial,
kekayaan, atau stattus sosial lainnya, termasuk menjamin hak-hak yang sedarajat
antara laki-laki dan perempuan.
Sedangkan
kewajiban untuk menjamin (to insurane) adalah
kewajiban yang bersifat positif (positive
duty) yangmengandung dua jenis kewajiban yaitu kewajiban untuk melindungi (to protec) dan kewajiban untuk ememnuhi
(to fulfill). Kewajiban untuk
melindungi adalah kewajiban negara memberikan perlindungan, termasuk melindungi
hak dari intervensi pelaku non-negara
(private interference). Dalam hal ini termasuk pula kewajiban negaa untuk
emngambil langkah-langkah yang perlu, misalnya melakukan pencegahan atas
tindakan-tindakan yang dianggap dapat mengancam pelaksanaan hak atau, melakukan
penghukuman pada perilaku peleanggaran. Sementara itu, kewajiban untuk memnuhi
mengandung dua jenis kewajiban yaitu; untuk memudahkan (facilitate) dinikmatinya hak yang ada serta kewajiban untuk
menyediakan (provide) berbagai hak
yang dibutuhkan.
Jika negara tidak melakukan kewajiban maka negara dapat
dikatakan melakukan pelanggaran HAM. Pelanggaran in terjadi karena negara gagal
memnuhi kewajibannya melindungi hak-hak asasi manusia yang dijamin dalam hukum
internasional maupun nasional, baik akrena sengaja melakukannya (commission), atau melakuakan pembiaran (Ommission).
5.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Penyelesaiannya
a.
Pelanggaran HAM Berat
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan sesorang atau
kelompok orang atau termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak
disengaja, atau kelalaian yang secaramelawan hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi, atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang
dijaminoleh undang-undang ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak
akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku.
Pelanggaran HAM yang berat dalam hukum Indonesia adalah
2(dua) bentuk kejahatan, yaitu ; 1) kejahatan genosida dan 2) kejahatan
terhadap kemanusiaan. Kedua kejahat ini dalam sejumlah instrumen internasional
dikenal sebagai bagian dari “the most
serious crimes”. Dalam
UU No. 26 Tahun 2000, kejahatan-kejahat ini dirumuskan dari dalam Statuta Roma,
yaitu terdapat dalam Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000.
Dalam Pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 kejahatan genosida dalam
pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagaian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama, denan cara :
1.
Membunuh anggota
kelompok;
2.
Mengakibatkan
penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap angota-anggota kelompok;
3.
Menciptakan kondisi
kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh
atau sebagiannya;
4.
Memaksakan
tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok atau;
5.
Memindahkan secara
paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke eklompok lain.
Dalam Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 Kejahatan terhadap
kemanusian sebagaiaman dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu
perbuatan yang dilakuakn sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil, berupa :
1.
Pembunuhan;
2.
Pemusnahan;
3.
Perbudakan;
4.
Pengusiran atau
pemindahan penduduk secara paksa;
5.
Perampasan kemardekaan
atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas)
ketentuan produk hukum internasional;
6.
Penyiksaan;
7.
Perkosaan, perbudakan
seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau
sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
8.
Penganiyayaan terhadap
suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik,
ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau hukum internasional;
9.
Penghilangan orang
secara paksa ; atau
10.
Kejahatan apartaheid.
Berdasarkan pengertian
dalam UU NO. 26 Tahun 2000, pelanggaran HAM yang berat adalah kejahatan yakni
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusaiaan, dimana dalam 2
kejahatan tersebut terhadap unsur-unsur khusus yang membentuk kejahatan biasa
atau kejahatan pelanggaran HAM yang tidak berat. Persandingan ini sebenarnya
tidak tepat karena seharusnya persandingan dengan istilah “gross violation of human rights”, yang merujuk pada pelanggaran HAM
lainnya yang mempunyai dampak pelanggaran HAM yang berat. Sementara pengertian
pelanggaran HAM yang berat dalam hukum positif indonesia hanya merujuk pada
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap manusia.
b.
Pelanggaran HAM dan Penyelesaiaanya
Konvenan hak-hak Sipil dan politik (ICCPR) memberikan
tanggung jawab kepada negara pihak untuk melakukan segala upaya perlindungan
baik jaminan hukum ataua kebijakan yang sesuai dengan konvenan. Selain itu
konvenan juaga mewajibkan negara melakukan remedy
bagi para korban yang dilanggar hak-hak yang diatur dalam konvenan.
Dalam hukum nasional dan konstitusi yaitu UUD 1945 secara
jelas menyebut bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah
tanggung jawab negara, utamanya pemerintah (Pasal 28I ayat 4). Dalam UU no. 39
tahun 1999 juga menyebut hal yang sama yakni pemerintah mempunyai kewajiban dan
bertanggung jawab utnuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM
yang diatur dalam berbagai UU dan hukum internasioanl tentang HAM yang diterima
oleh Republik Indonesia (pasal 71 ayat (1)). Dalam UU No. 39 Tahun 1999 memberikan jaminan
kepada setiap individu warga negara untuk menggunakan upaya hukum nasional dan
forum internasional atas semua pelanggaran HAM yang dijamin oleh instrumen
Nasional maupun internasional mengenai HAM yang telah diterima negara Republik
Indoneisa (Pasal 7 Ayat 1).
Dengan kewajiban yang demikian, negara dalam hal ini
pemerintah, bertanggungjawab atas adanya to
protect, to respect, dan to fulfil atas penegakan HAM. Dalam hal terjadinya
pelanggaran HAM, negara dan perangkatnya harus melakukan langkah-langkah yang
diperlukan untuk memastikan adanya pemulihan kepada korban (remedy). Untuk memastikan tidak adanya
pelanggaran HAM, lembaga-lemabga negara dan aparaturnya negara harus bertindak
untuk sesuai dengan kwenangan berdasaraka UU untuk menjamin pelaksanaan hak
yang dijamin. Setiap bentuk pealnggaran, atau pelanggaran hukum, pertanggung
jawaban dapat dilakukan melalui mekanisme pengadilan.
Penyelesaian pelanggaran HAM dalam mekanisme pengadilan dapat
dilaksanakn dengan berbagai bentuk dan dapat berfungsi sebagai sarana penegakan
HAM baik hak-hak sipil dan politik, maupun hak ekonomi, sosial dan budaya.
Pengadilan juga dapat menjadi sarana untuk menilai suatu kebijakan atau
regulasi yang bertentangan dengan HAM atau tidak yaitu melalui mekanisme judisial review. Oleh karena itu para
korban pelanggaran HAM dapat mengajukan gugatan, tuntutan, ataupun permohonan
melalui sarana pengadilan.
Saat ini Indoneisa mempunyai beberapa lembaga yang mempunyai
tugas secara khusus untuk memastikan terlaksananya penghormatan, pelrindungan,
pemenuhan HAM seperti Komnas HAM, Komnas Perlindungan Anak, Komnas Perempuan,
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Ombudsman Republik Indonesia,
Komisi , Informasi dan sebagaianya.
Perangkat negara lainnya yang mempunyai tugas untuk memastika
terlaksananya perlindungan HAM, adalah DPR yang mempunyai kwenangan untuk
membentuk, mengubah, meperbaiki kebijakan atau regulasi setingkat UU. DPR juga
mempunyai kwenangan untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah dan
lembaga-lembaga negara dan tindakan lainnya untuk memastikan adanya
perlindungan, penghormatan, pemenuhan dan penegakan HAM (rapat kerja,
rekomendasi, anggaran, pemilihan anggota-anggota lembaga tertentu, penyelidikan
khusus-khusus tertentu, dll). DPR juga dapat menerima pengaduan adanya
pelanggaran HAM, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah atau
lembaga-lembaga negara lainnya. DPR juag dapat berfungsi untuk mealkukan legislative review atas peraturan yang
terkait dengan HAM, melakukan pengawasan atas kebijakan pemerintah yang
berdamapak pada HAM, atau kebijakan lainya yang merupakan implementasi dan
pemenuhan HAM misalnya memberikan anggaran yang cukup untuk mendorong lembaga-lembaga
yang penting bagi penegakan HAM dan sebagainya.
Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah mempunyai banyak
kwenangan dan sumber daya untuk menghormati, melindungi, dan memnuhi HAM, baik
dalam bentuk pembentukan peraturan, anggaran, admintrasi, atau langkah-langkah
lainnya. Selain pemerintah. Masyarakat juga dijamin untuk melakukan
langkah-langkah hukum untuk mempertahankan atau memulihkan hak asasi mereka.
Dalam peraktiknya, berbagai kasus yang berdimensi HAM, masyrakat dan korban
telah banyak mengajukan ke pengadilan atas pelanggaran HAM yang terjadi, baik
melalui gugatan perdata, PTUN atau lainya.
Dalam onteks pelanggaran HAM, juga ada mekanisme pengaduan
atau pelaporan internasional. Sebagaiamana dinyatakan dalam UU No. 39 Tahun
1999, setiap orang berhak untuk menggunakan segala upaya hukum nasional dan
forum internasional atas semua pelanggaran HAM yang dijamin oleh hukum
Indonesia dan hukum Internasional mengenai HAM yang diterima oleh Negara
Republik Indonesia (pasal 7). Dalam instrumen HAM Internasional , dikenal juga
upaya pengaduan/komplain yang pada intinya memberikan kesempatan kepada korban
pelanggaran HAM untuk melaporkan kasusnya ke PBB, yang dikenal dengan laporan
Bayangan.
6.
Pengadilan Hak Asasi Manusia
Pengadilan HAM
dicantumkan pertam kali dalam bab 9(sembila) tepatnya dalam Pasal 104
Undang-undang Nomo 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Yang berbunyi dalam
Pasal 104 sebagai berikut:
(1)
Untuk mengadili
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk pengadilan hak asasi manusai
dilingkungan peradilan umum.
(2)
Pengadilan sebagaiaman
yang dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang dalam waktu paling
lama 4 tahun.
(3)
Sebelum terbentuknya
pengadilan hak asasi manusia sebagaiamana dimaksud dalam ayat (2), maka
kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaiaman dimaksud dalam ayat (1)
diadili oleh pengadilan yang berwenang.
Karena pada waktu itu
diperlukannya pengadilan HAM pemerintah membentuk pengadilan HAM dengan
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun
1999 tentang Pengadilan HAM. Sedangkan isi
dari Perpu tersebut adalah tentang bentuk pengadilan, kwenangan, dan hukum
acara yang khusus untuk pengadilan HAM, akan tetapi dalam perjalanannya Perpu
tersebut ditolak oleh Dewan Perwakilan rakrayat selanjutnya disebut DPR, yang
selanjutnya pemerintah dan DPR bersepakat untuk membuat Undang-undang yang
mengatur tentang Pengadilan HAM yaitu Undang-undang Nomor 26 tahun 200 tentang
Pengadilan HAM.
Sedangkan untuk
pengertian Pengadilan Hak Asasi Manusia dijelaskan bahwa “ Pengadilan Hak Asasi Manusia selanjutnya disebut Pengadialan HAM
pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia”.
Berdasarkan UU No. 26
Tahun 2000, menyebutkan bahwa pembentukan pengadilan HAM didasarkan pada pertimbangan
bahwa pelanggaran HAM yang berat merupakan “ektra
oridinary crimes” dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional
,aupum internasional dan bukan merupakan tindakan pidana yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian baik materil maupun
imateril yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik perseorangan maupun
masyrakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supermasi hukum
utnuk mecapai kedamaian, keadilan, Kepastian, dan kemanfaatan.
Pengadilan mempunyai
ciri yang lebih khusus yangmembedakan dengan pengadilan lainnya (Pengadilan
Negeri, Pengadilan Agama, PTUN, dan Pengadailan Militer dll) yakni diantaranya
:
1.
Pengaturan tentnag
Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan pengadilan yang bersifat
khusus ;
a.
Hukum acara dalam
pengadilan HAM diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000, jika tidak
diatur dalam UU tersebut maka berlaku UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (Pasal
10).
b.
Penyelidik dalam kasus
pelanggaran HAM adalah Komnas HAM, yang dapat membentuk tim penyelidik ad-hoc
dari unsur Komnas HAM dan masyarakat (Pasal 18). Kwenangan dalam penyelidikan
(pasal 19), dan Komnas HAM meminta keterengan tertulis kepada jaksa agung
mengenai perkembangan penyidik dan penuntutan perkara pelanggaran HAM berat
(Pasal 25).
c.
Penyidikan dilakukan
oleh Jaksa Agung, yang dapat membentuk tim Ad-hoc penyidik dari unsur Jaksa dan
Masyrkat (Pasal 21 dan 22).
d.
Penuntutan oleh jaksa
agung, yang dapat membentuk tim ad-hoc penyidik dari unsur kejaksaan dan
masyarakat (Pasal 23 dan 24).
e.
Pemeriksaan perkara dipengadilan HAM dilakukan
oleh 5 Majelis Hakim yang terdiri dari 2(dua) orang hakim pengadilan HAM yang
bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad-hoc (pasal 27). Hakim ad-hoc diangkat
oleh presiden untuk masa jabatan 5 (lima) tahun.
f.
Pemeriksaan perkara
dipengadilan merupakan perosedur yang khusus, misalnya terkait dengan jangka
waktu dari pengadilan tingkat 1 sampai pengadilan tingkat mahkamah agung (Pasal
31-33). Selain itu, dalam praktek pemeriksaan di pengadilan HAM juga
menggunakan prosedur pembuktian yang berbeda, misalnya diperbolehkan
menggunakan alat teleconfrence.
2.
Adanya ketentuan
tentang perlindungan saksi dan korban;
a.
Setiap korban dan
saski dalam pelanggaran HAM yang berat berhak atas perlindungan fisik dan
mental dari ancaman, ganguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang
wajib dilaksanakan oleh aprrat penegak hukum dan aparat keamanan secara
Cuma-Cuma (pasal 34);
b.
Pemerintah membentuk
peraturan pemerintah (PP) No.2 Tahun 2002 tentang tata cara perlindungan
terhadap korban dan saksi dan pelanggaran HAM yang berat;
c.
Pada tahun 2006,
terbentuk UU No. 13 Tahun 2006 tentnag perlindungan saksi dan korba, yang
mengatur hak-hak saksi lebih lengkap, baik hak-hak prosedural dan substantif.
3.
Adanya ketntuan
tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban;
a.
Setiap korban dan
saksi daam pelanggaran HAM yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh
kompensasi, retribusi, dan rehabilitasi, yang dicantumkan dalam amar putusan
HAM (Pasal 35);
b.
Pemerintah membentuk
PP No. 3 tahun 2002 tentang Kompensasi dan restitusi dan rehabilitasi terhadap
korban pelanggaran HAM yang berat;
c.
Tahun 2008, terbentuk
PP nNo. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, retribusi dan Bantuan
kepada Korban dan saksi.
4.
Tidak ada ketentuan
mengenai kadaluarsa;
a.
Dalam perkara
pelanggaran HAM yang berat tidak kenal adanya daluarsa, atau berhentinya
putusan karena habis masa waktu (Pasal 46). Hal ini sejalan dengan norma
internasional untuk kejahatn-kejahatan yang termasuk pelanggaran HAM yang berat
tidak dikenal “statute of limitations”
Undang-undang nomor 26 tahun 2006 memberikan 2
(dua) mekanisme dalam peroses peradilan terhadap perkara pelanggaran HAM yagn
berat. Pertama adalah Pengadilan HAM dibentuk untuk peristiwa-peristiwa yang
terjadi setelah terbentuknya UU yaitu setelah tahun 2000. Kedua, pengadilan HAM
ad-hoc untuk peristiwa yang terjadi sebelum terbentuknya UU, atau sebelum tahun
2000. Pengadilan HAM ad-hoc inilah yang mempunyai mekanisme khusus, yaitu
terbentuknya pengadilan ad hoc, diperlukannya persetujuan dari DPR berdasarkan
peristiwa tertentu dengan keputusan presiden (pasal 43). Dalam UU No.
26 Tahun 2002 Pasal 47 dalam perkara pelanggaran HAM berat tidak menutup
kemungkinan dibentuk diselesaikan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Semenjak dibentuk
tahun 2000, saat ini telah ada 3 perkara yang diajukan ke Pengadilan yakni 2 perkara
untuk peristiwa sebelum tahun 2000 dengan pengadilan HAM ad-hoc (pelanggaran
HAM yang berat di timor-timur dan tanjung periok), dan perkara yang terjadi
setelah tahun 2000 dengan pengadilna HAM (perkara abdipura,Papua).
7.
Korupsi dan Pelanggaran HAM
Istilah korupsi itu bersal dari bahasa latin, corruptio, corruptus. Kata itu artinya
suatu perbuatan buruk, busuk, bejat, dapat disuap, tidak bermoral, dan pasti
tidak suci.
Korupsi dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk
kepentingan pribadi. Dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
tentang tindak pidana Korupsi merumuskan empat unsur dalam tindak pidana
korupsi,yaitu unsur penyalahgunaan wewenang, unsur memperkaya diri sendiri atau
korporasi, unsur merugikan keuangan negara dan unsur pelanggaran hukum.
Pengertian lain tentang korupsi yang sangat terkenal dirumuskan oleh Robert
Klitgaard. Klitgaard merumuskan bahwa korupsi terjadi karena kekuasaan dan
kewenangan tidak diimbangi dengan akuntabilitas. Yaitu dikenal dengan rumus C =
M + D (Coruption = Monopoli + Discreation).
Kalo kita melihat dari segi makna dan pengaturannya dalam
regulasi memang Korupsi tidak ada relevansinya dengan HAM. Pada ranah strategi,
pemberantasan korupsi juga tidak terlalu terkait dengan penegakan HAM. Kalau
mengikuti rumus Klitgaard, korupsi dapat diberantas dengan mengurangi monopoli
dan kewenangan serta pada saat yang sama mendorong peningkatan akuntabilitas publik.
Dari sisi hukum, korupsi dapat diberantas dengan menjatuhkan hukuman
seberat-beratnya terhadap pelakunya. Sehingga dengan begitu dapat menimbulkan efek jera bagi yang
lain sehingga perbuatan korpusi tidak berkembang.
Dengan tidak adanya relevansi diatas maka perlu dikaji lebih
dalam untuk memepertemukan gagasan tentang HAM dan Korupsi yang dapat dilihat
dalam dokument HAM Internasional yaitu Universal
Declaration of Human Right (Deklarasin Unversal Hak Asasi Manusia). The International Convennt on Civilan
Polical Right (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik),
dan The International Convenant on
Economic, Social and Cultural Right (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak
Ekonomi dan Budaya). Dari ketiga dokument diatas dapat diintervretasikan
bahwa sesungguhnya korupsi merupakan pelanggaran HAM terutama dalam beberapa
hal seperti :
1.
Hak untuk Berafiliasi
Termasuk
dalam kategori ini adalah hak untuk menentukan nasib sendiri (ICCPR Pasal 1,
ICESCR Pasal 1), hak untuk berorganisasi (ICCPR Pasal 22, ICESCR Pasal 8), hak
kebebasan praktek dan kepercayaan budaya (ICCPR Pasal 27, ICESCR Pasal15) dan
hak kebebasan beragama (ICCPR Pasal 18). Pelanggaran atas hak
ini terjadi bila korupsi terjadi pada kebijakan yang diambil
pemerintah yang menyebabkan kerusakan lingkungan, menguntungkan
perusahaan besar dan meminggirkan masyarakat adat yang telah menghuni
kawasan tersebut secara turun temurun.
2.
Hak atas hidup,
kesehatan tubuh dan integritas
Termasuk
dalam kategori ini adalah bebas dari penyiksaan (ICCPR Pasal 7), hak atas
kehidupan (ICCPR Pasal 6), hak atas kesehatan (ICESCR Pasal 12) dan hak atas
standar hidup yang layak atu memadai (ICESCR Pasal 11).
korupsi yang melibatkan banyak pihak. Contoh lain yang dapat
dikemukakan adalah penembakan warga oleh kepolisian di pelabuhan Save Bima
ketika warga masyrakat melakukan demontrasi untuk menolak pembukaan
pertambangan.
3.
Hak untuk
berpartisipasi dalam politik
Termasuk
dalam kategori ini adalah hak kebebasan berekspresi (ICCPR Pasal 19), hak untuk
memilih dalam pemilihan umum (ICCPR, Pasal 15). Kebebasan
berekspresi termasuk hak untuk mendapatkan informasi dalam berbagai
bentuk. Pelanggaran atas hak kebebasan berekspresi dapat
dilihat pada gugatan pencemaran nama baik yang dilakukan terhadap aktivis
anti korupsi . hal yang sama juga dapat dilihat dalam praktek money politics
dalam pemilihan umum dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak untuk
memilih. Dengan adanya money politics, akan mendorong pemilih untuk memilih bukana
tas khendaknya sehingga menutup kesempatan kepada orang yang mempunyai
integritas.
4.
Hak
atas penegakan hukum dan non-diskriminasi
Hak
ini termasuk hak atas pengadilan yang adil dan penghargaan individu setara di
depan hukum (ICCPR, Pasal 9-15). Kategori pelanggaran atas hak ini dapat kita
temukan dalam peroses penegakakan hukum ditataran pengadilan, yang dimana
sering sekali didapti putusan-putusan yang bersifat ganjil dan tidak sesuai
dengan harapan, sehingga masyrakat sering menyebutkan adanya Mafia peradilan.
5.
Hak atas pembangunan
sosial dan ekonomi
Termasuk
dalam kategori ini adalah untuk mendapatkan kerja yang layak (ICESCR, Pasal
6-9), hak atas pendidikan (ICESCR, Pasal 13-14). pelanggaran hak ini dapat terjadi
ketiak dalam peroses penyusunan untuk alokasi budget yang tidak adil.
Seperti dapat kita saksikan pada APBN, sebagian besar alokasinya
untuk pembayaran utang dalam negeri dan luar negeri. Anggaran pendidikan hanya
mendapat kurang dari 10%. Apalagi anggaran kesehatan yang jauh dari akta
layak. Sehingga dalam kasus ini dapat dikatakan bahwa negara secara Jelas
dalam telah melakukan pelanggaran HAM.
8.
Penutup
Penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM di Indonesia dalam
tataran regulasi semakin baik, akan tetapi banyak kasus pelanggaran HAM tidak
membuat mulusanya penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan pemajuan HAM sesuai
dengan peraturan yagn berlaku, karena sulitnya dalam peroses pengungkapn kasus
pelanggaran HAM. Dengan melihat uraiaan diatas bahwa sudah seharunya
Nilai-nilai dalam HAM dapat hidup digunakan sebagai perspektif dalam melihat
dan menganalisis korupsi sehingga korupsi merupakan kejahatan terhadap HAM yang
tidak secara langsung dapat di uraikan sebagaiaman jenis pelanggaran HAM dalam
UU No. 26 tahun 2000. Melalui analisis HAM, wacana korupsi dapat diberantas dengan
kajian dalam bentuk angka dan perhitungan teknis serta analisis hukum yang
manipulatif. Melalui HAM, kita melihat deretan
korban korupsi yang akan terus bertambah. Pada gilirannya, menggunakan
instrumen HAM akan dapat mendorong partisipasi masyarakat. Karena melalui
perspektif HAM dapat ditunjukkan dengan nyata bagaimana masyarakat menjadi
korban dalam kasus Korupsi.
Daftar Pustaka
Peraturan Nasional :
1.
Undang-Undang Dasar
1945
2.
Udang-Udang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
3.
Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
4.
Undang-undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manuisa.
5.
Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasioanl tentang Hak Sipil dan
Politik.
6.
Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)
Instrumen
Internasional :
1.
Deklarasi Universal
HAM (Universal Declaration on Human Rights)
2.
Konvenan Internasional
tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosila dan Budaya (The Internasional Convenat on
Economic, Sosial dan Cultural Rights)
3.
Konvenan Internasional
tentang hak-hak Sipil dan Politik.
4.
Komentar umum (general
coment) Komite HAM PBB No. 34 Tahun 2004.
5.
Perinsip-perinsip
Siracusa tentang pembatasn dan pengurangan ketentuan dalm konevena
internasioanl Hak-hak sipil dan politik.
Instrumen Regional
:
1.
Deklarasi HAM Asean
Buku :
1.
Prof. Soetandyo
Wignjosoebroto, dkk. Menuju Keadilan Global. 2012 Serpico Printing.
2.
SOMASI NTB. Mencabut
Akar Korupsi.2003
3.
ELSAM.Kebebasan
Berekspresi di Internet. 2012
4.
Robert Klitgard dkk .
Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah.2002 (edisi terjemahan
oleh yayasan Obor Indoneisa).