Rabu, 02 September 2015

Persiapan Pemerintah Desa Dalam Pelaksanaan Undang-Undang Desa dan Mengenal Hak Asasi Warga Desa


Persiapan Pemerintah Desa Dalam Pelaksanaan

Undang-Undang Desa dan Mengenal Hak Asasi Warga Desa[1]

Oleh Abdul Kasim, S.H.[2]
Undang-undang Desa, dan Hak Asasi Warga Desa,SOMASI NTB, ELSAM
Share Learning di Kota Praya Lombok Tengah
1. Pengantar
Pasca perubahan landasan hukum dari PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, posisi Desa merangkak naik menjadi setingkat dengan Pemerintah Daerah. Melihat jauh ke belakang posisi desa sebenarnya pernah sederajat lewat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979. Setalah era reformasi pada tahun 1998, pengakuan posisi desa secara yuridis seakan turun derajat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2005 yang kemudian di atur oleh Peraturan Daerah masing-masing kabupaten/kota. 

Setelah lama dibawah operasional otonomi Daerah dengan landasan hak dan kewajiban otonomi membuat otonomi desa tidur panjang. Tidur panjang otonomi Desa berawal ketika era orde baru menerbitkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 yang menjadikan Desa dan semua perangkatnya berubah menjadi alat birokrasi yang efektif dalam menjalankan semua kebijakan rezim berkuasa yang dimana dengan sendirinya peran dan kedudukan desa mengalami pergeseran dari entitas sosial yang bertumpu pada kehendak basis alami terkecil masyarakat menjadi unit pemerintahan mikro yang bersandar bagi kepentingan pemerintah.

Setelah di terbitkan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 setidaknya ingin menjawab kebutuhan yang diperlukan untuk membangunkan otonomi Desa, yaitu mengembalikan otonomi asli desa sebagaimana mestinya , serta pada saat yang sama mengembangkan otonomi desa untuk membatasi intervensi otonomi daerah pasca reformasi. Jika mempelajari substansi pengaturan soal desa dalam batang tubuh, tampak bahwa rezim desa kali ini dengan jelas menjawab persoalan pertama, yaitu menegaskan kembali keragaman desa sebagaimana lebih awal telah dikoreksi oleh Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 dan terakhir dirubah dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah.

Setelah penerbitan Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2014 tentang petunjuk pelaksanaan UU Desa dan Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2014 tentang mekanisme pengelolaan Dana Desa yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), maka ada pergeseran dalam mekanisme pengelolaan anggaran di desa.

Undang-undang desa menegaskan otonomi desa dalam menentukan prioritas pembangunan dan penggunaan dana sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat desa. Sehingga paradigma pembangunan tidak hanya terpusat pada perkotaan, dan bisa bergeser ke pedesaan. Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia masih tinggal di desa. Hal ini juga sejalan dengan komitmen pemerintah untuk terus menekan angka kemiskinan di Indonesia.

Persoalannya adalah apakah pengaturan soal desa kedepan akan memberi peluang ataukah menjadi ancaman nyata bagi pertumbuhan dan perkembangan otonomi desa? makalah ini akan melihat akar pertumbuhan dan perkembangan otonomi desa di Indonesia serta sejumlah catatan penting bagi peluang tumbuhnya otonomi desa. Uraian ini juga akan menyertakan beberapa catatan kritis terhadap pengaturan desa yang tidak hanya melihat tujuan dari Undang-undang desa tetapi melihat potensi yang dapat menghambat pembangunan desa dikemudian hari.

2. Peluang Pembangunan Desa

Pengaturan posisi Desa melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 harus diakui memberi peluang bagi tumbuhnya otonomi Desa. Sejumlah tekanan dalam beberapa pasal memberi diskresi yang memungkinkan otonomi desa tumbuh dengan melihat beberapa aspek kewenangan seperti tambahan kewenangan Desa selain kewenangan yang didasarkan pada hak asal usul sebagaimana diakui dan dihormati negara. Tampak bahwa asas subsidiaritas yang melandasi undang-undang Desa memberikan keleluasaan dalam penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa. Kewenangan lokal berskala desa adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa yang telah dijalankan oleh desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh desa, atau yang muncul karena perkembangan desa sebagaiamana di disebutkan dalam pasal 76 ayat (1) undang-undang Desa, sebagai berikut :

“Aset desa dapat berupa tanah kas Desa, tanah ulayat, pasar Desa, pasar hewan, tmabatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik Desa, mata air milik Desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik Desa “

Konsekuensi dari kewenangan tersebut memungkinkan desa dapat mengembangkan otonomi yang dimiliki bagi kepentingan masyarakat setempat. Implikasinya desa dapat menggunakan sumber keuangan yang berasal dari negara dan pemerintah daerah untuk mengembangkan semua kewenangan yang telah ada, yang baru muncul, dan sejumlah kewenangan lain yang mungkin merupakan penugasan dari supradesa. Untuk mendukung pelaksanaan sejumlah kewenangan tersebut, desa dan kepala desa memiliki kewenangan yang luas untuk mengembangkan otonomi asli melalui sumber keuangan yang tersedia.

Selain kewenangan berdasarkan hak asal-usul yang telah ada dan kewenangan berskala lokal desa, semua kewenangan tambahan yang ditugaskan oleh pemerintah daerah maupun pusat hanya mungkin dilaksanakan jika disertai oleh pembiayaan yang jelas. Berdsarakan hal tersebut, dalam pasal 72 ayat (1) undang-undang desa mengatur asal-usul sumber keuangan desa secara umum yaitu: 

(i). Pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa; (ii). Alokasi Anggran Pendapatan Belanja Negara; (iii). Bagian dari hasil pajak Daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota; (iv). Alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota; (v). Bantuan keuangan dari Anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi dan anggaran pendapatan belanja daerah kabupaten/kota; (vi). Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga dll.

Dengan sumber keuangan yang relatif cukup dibanding kuantitas urusan yang akan dilaksanakan, desa sebetulnya dapat lebih fokus dalam meningkatkan pelayanan publik serta pembangunan dalam skala Desa. Kenyataan tersebut setidaknya mendorong otonomi yang dimiliki untuk menjadikan semua urusan yang telah diakui dan dihormati negara, ditambah urusan skala lokal bukan sekedar pajangan, tetapi akumulasi dari seluruh aset yang memungkinkan desa bertambah kaya dengan modal yang dimilikinya. Dengan modal tersebut desa akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menekan tingginya kemiskinan dan meningkatkan daya saing Desa sehingga tidak jauh tertinggal dengan kota. 

Kabar baik atas pengakuan negara terhadap desa dapat dilihat dari pengakuan atas realitas keberagaman desa di berbagai daerah (asas rekognisi). Sedangkan konkritisasi dari penghormatan negara terhadap desa adalah terbukanya kran alokasi negara secara langsung yang akan dikelola desa (asas subsidiaritas). 

Dalam peroses pembangunan, desa membutuhkan partisipasi aktif dari unsur dalam masyarakat Desa. Sehingga pembangunan desa diharapkan dapat ditopang lewat aset desa, termasuk sumber keuangan desa dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) degnga mengembangkan produk lokal. Lebih dari itu peluang pengembangan otonomi memungkinkan desa dapat meluaskan pembangunan melalui strategi kerjasama dengan desa lain yang saling menguntungkan.

3. Potensi Penghambat Pembangunan Desa

Secara organisasi dalam Perturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005, berbeda dengan struktur organisasi dalam undang-undang Desa yaitu pemerintahan desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa semata tanpa posisi BPD. Besarnya kewenangan kepala desa memberi peluang bagi upaya mendorong tumbuh dan berkembangnya otonomi Desa, namun disisi lain bukan mustahil menjadi ancaman bagi perkembangan Desa dalam perjalanan kedepan. mengacu dalam undang-undang Desa, posis Badan Permusyawaratan Desa berada diluar batasan pengertian pemerintahan desa, sehingga praktis BPD tak memiliki fungsi pengawasan terhadap akuntabilitas kepala Desa. Sebab pertanggungjawaban akhir tahun anggaran dan akhir masa jabatan kepala Desa disampaikan kepada kepala daerah Kabupaten/Kota. Tugas BPD selain berfungsi sebagai lembaga pemerintahan hanya melakukan pembahasan dan menerima laporan dari masyarakat, dan menerima keterangan laporan atas laporan dari kepala Desa ke Kabupaten/Kota. Kondisi demikian membuat tidak ada chek and balance system sehingga pemerintah desa berpeluang absen dari masyarakat dalam hal ini diwakili oleh Badan permusyratan Desa.

Luasnya kewenangan pemerintah Desa tanpa pengawasan kuat BPD pada akhirnya akan membuka peluang korupsi di Desa disebabkan sumber daya aparatur yang minim, apalagi jika pemerintah lalai dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana amanat undang-undang Desa. Peluang korupsi tidak saja terbuka lebar secara internal pemerintah desa, potensi terjadinya korupsi secara sistemik dimungkinkan karena peluang seorang kepala desa dapat bertahan selama 6 kali 3 periode sehingga dengan mudah dapat melanggengkan kekuasaan lewat penggunaan sumber keuangan dan kewenangan yang luas.

Semakin rendah pendidikan masyarakat semakin rendah pula daya kritis mereka terhadap pemerintah desa. Keadaan demikian akan memudahkan pemerintah desa melakukan berbagai modus yang menguntungkan diri dan keluarga dekatnya. Kecenderungan demikian semakin sering terjadi pada sebagian besar desa yang tak cukup memiliki integritas moral dan derajat pendidikan yang memadai. Dalam banyak kasus pemerintah Desa seringkali berkonsfirasi dengan pemerintah daerah untuk saling menutupi berbagai kelemahan pertanggungjawaban, sekaligus merawat hubungan patron clien dengan sejumlah pejabat yang bertanggungjawab dalam distribusi alokasi dana desa. Secara historis bakat feodalisme pemerintah desa adalah produk kolonial yang cenderung lebih berorientasi pada kepentingan atasan dan bawahan dari pada kepentingan masyarakat. Kondisi demikian seringkali menjebak pemerintah desa lupa diri sehingga terciptanya oligarkhi, nepotisme, bahkan otoritarianisme pemerintahan desa. 

Disisi lain, bersamaan dengan menguatnya kewenangan desa dan meningkatnya sumber-sumber keuangan Desa akan menginjeksi petinggi Desa akan melakukan pertimbangan pragmatis atas datangnya subsidi desa maka keinginan memekarkan desa kemungkinan dapat menjadi trend dimasa mendatang. Realitas semacam ini cenderung melahirkan konflik horizontal dan vertikal di tingkat Desa akibat lambatnya pembentukan Desa serta sejumlah ketidakpuasan akibat kompetisi yang ketat dalam pemilihan kepala Desa. Mengingat masa transisi dari status Desa persiapan ke Desa defenitif yang hanya membutuhkan usia 1-3 tahun, tentu saja bukan halangan berarti dalam memperbanyak Desa baru atas nama kehendak masyarakat setempat.

4. Hak Asasi Masyarakat Desa
Mengenai hak asasi masyrakat desa, kita berkiblat utama pada konstitusi yaitu mengacu kepada ketentuan UUD 1945, Seperti diketahui, sejak Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000, UUD 1945 memuat ketentuan yang sangat lengkap tentang jaminan-jaminan hak asasi manusia. Jaminan konstitusional hak-hak warga negara dan hak asasi manusia itu dirumuskan dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J UUD 1945. Di samping itu, pada tahun 1999, Indonesia juga telah mengesahkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia17, dan pada tahun 1998, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu, pada tahun 2000 juga telah disahkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak AsasiManusia. Pada tahun 2005, terbit pula Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 yang masing-masing meratifikasi International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1966. Dalam konstitusi Republik Indonesia telah mengatur Hak Asasi Manusia begitu lengkap sebagai mana diatura dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J UUD 1945, menentukan hal-hal sebagai berikut: 
  1. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya;
  2. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;
  3. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
  4. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia; 
  5. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya;
  6. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
  7. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
  8. Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan; 
  9. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;
  10. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali;
  11. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya;
  12. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat; 
  13. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia;
  14. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi; 
  15. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain; 
  16. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan; 
  17. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan; 
  18. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat; 
  19. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa pun; 
  20. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun; 
  21. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu; 
  22. dentitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban; 
  23. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah; 
  24. Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan; 
  25. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 
  26. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Keseluruhan norma Pasal 28A sampai dengan Pasal28J UUD 1945 ditambah dan dilengkapi oleh segala undang-undang tentang hak asasi manusia beserta instrumen hak asasi manusia yang telah diratifikasi dengan undang-undang Republik Indonesia.

dalam menjalankan fungsi-fungsi kekuasaannya, juga haruslah dijadikan pegangan normatif bagi masyarakat Desa dalam hubungan antar sesama warga negara, warga masyarakat madani, dan dalam hubungan antara masyarakat madani dengan institusi negara dan korporasi. Dengan perkataan lain, pasal-pasal hak asasi manusia dalam UUD 1945 itu haruslah dijadikan pegangan sebagai suatu Konstitusi Sosial yang tersendiri. Melalui Hak Aasasi Manusia, kita dorong dan kawal pelaksanaan undang-undang Desa untuk mecapai tujuan yaitu membangun Desa untuk mensejahterakan masyarakat Desa, sehingga hal-hal yang akan merugikan masyrakat dalam peroses pembangunan Desa melalui Undang-Undang Desa dapat teratasi, sehingga kita tidak melihat deretan korban korupsi yang akan terus bertambah. Pada gilirannya, menggunakan instrumen HAM akan dapat mendorong partisipasi masyarakat untuk mengawal segala kebijakan pembangunan Desa. Karena melalui perspektif HAM dapat ditunjukkan dengan nyata bagaimana masyarakat menjadi korban dalam kasus penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kasus Korupsi maupun dalam pelayan publik yang tidak baik dalam pelaksanaan undang-undang Desa.

5. Hal yang perlu dipertimbangkan


Dengan melihat prinsip kewenangan yang luas ditambah sifat monopolistik tanpa akuntabilitas, maka pemerintah desa bukan mustahil dapat terjebak pada masalah kejahatan korupsi dan diluar dari konflik politik secara horizontal diantara masyarakat dilingkungan desa. Perlu dipertimbangkan untuk mengobati kemungkinan hal yang akan memperlambat pertumbuhan desa diantaranya :

  1. Aturan teknis harus mampu memperjelas hubungan kewenangan antara pemerintah desa dengan BPD, kecamatan, dan pemerintah daerah. Menihilkan pengaturan soal hubungan kewenangan di antara entitas tersebut dapat mendorong konflik latent dalam jangka panjang.
  2. Aturan teknis harus mampu menciptakan syarat yang ketat dalam pembentukan Desa, termasuk upaya mengkonversi kelurahan menjadi Desa untuk mencegah nafsu menggandakan Desa sebanyak mungkin bagi kepentingan jangka pendek. Aturan teknis harus dapat memperjelas masa depan desa persiapan yang setelah melewati 1-3 tahun dinyatakan tidak layak menjadi desa defenitif. Apakah harus dikembalikan ke masyarakat atau dapat diajukan kembali dalam waktu tertentu.
  3. Aturan teknis harus dapat menjawab masa jabatan kepala desa secara berturut-turut atau tidak berturut-turut. Demikian pula yang pernah menjabat sebagai kepala desa di desa lain selama tiga periode apakah dapat mencalonkan lagi di desa lain.
  4. Aturan teknis harus memberi batasan tentang kewenangan desa dalam kaitan dengan pengaturan kawasan khusus/strategis sehingga tak kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah daerah.
  5. Selain aturan teknis harus menjawab amanah undang-undang desa dalam bentuk peraturan pemerintah, juga diperlukan inventarisasi masalah yang telah terjadi atau mungkin akan terjadi dalam bentuk simulasi untuk mengantisipasi ketegangan yang akan muncul dikemudian hari.
  6. Dalam kesadaran semacam itu diperlukan pendidikan dan pelatihan yang memadai secara terus-menerus kepada pemerintah desa, BPD dan stakeholders terkait guna menyambut semua kejutan yang akan tiba di desa. Akhirnya, suka atau tidak, ketika desa memiliki kewenangan yang luas, sumber keuangan yang menjanjikan, masa jabatan yang relatif lama, minimnya kontrol dari masyarakat.
  7. Aturan teknis harus membatasi pengelolaan aset Desa, Tanah Ulayat, mengingat banyaknya kasus penggelapan tanah ulayat yang dilakukan oleh kepala desa di beberapa Daerah, dengan melihat kwenangan untuk melakukan sertifikat tanah Ulayat dan Aset lainnya, tidak menutup kemungkinan disalahgunakan oleh kepala Desa.
Daftar Pustaka

Undang-Undang :
  1. Undang-undang Dasar 1945
  2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979
  3. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
  5. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
  6. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 sebagaimana diribuh dengan perubahan terakhir Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
  7. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Peraturan Pemerintah :
  1. Perturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Perturan Pelaksana Undang-Undang Desa
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

[1] Makalah disamapaiakn pada diskusi Share Learning SOMASI NTB Tahun 2015. Lombok Tengah. 
[2] Divisi Bidang Ekonomi dan Politik Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (SOMASI), Nusa Tenggara Barat. 
[3] Untuk mengakses Soft File makalah silahkan email ke: abdulkasim213@gmail.com